



Polemik Tambang di Raja Ampat, KKP Akan Kaji Ulang Aturan Pemanfaatan Pulau Kecil
- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mengkaji ulang aturan yang mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Hal ini merespons kasus penambangan nikel di Raja Ampat oleh lima perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP).
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil KKP Ahmad Aris mengatakan, pihaknya akan mengkaji ulang aturan-aturan yang ada agar seluruh peraturan tidak saling tumpang tindih, terutama aturan antar kementerian maupun pemerintah daerah.
Dengan keselarasan aturan, maka kasus seperti yang terjadi di Raja Ampat tidak terulang kembali karena aturan terkait pemanfaatan pulau-pulau kecil menjadi jelas, termasuk soal proses perizinannya.
"Ke depan KKP akan melakukan review terhadap peraturan yang terkait di pulau-pulau kecil. Supaya terjadi harmonisasi. Jadi jangan sampai undang-undang ini tidak sinkron antara undang-undang yang ada," ujarnya saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Dia menjelaskan, pulau-pulau di Raja Ampat yang menjadi kasus pertambangan nikel sebenarnya masuk dalam kategori pulau-pulau kecil karena memiliki ukuran di bawah 100 kilometer.
Bahkan dapat dikatakan sebagai pulau yang sangat kecil karena ukurannya di bawah 10.000 hektar.
Itu berarti, kelima pulau tersebut seharusnya tidak diprioritaskan untuk dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan pertambangan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014.
Pada Pasal 23 UU tersebut disebutkan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, dan pertahanan serta keamanan negara.
"Jadi di dalam menyusun rencana tata ruang, mestinya pemerintah daerah memenuhi 9 kegiatan yang ada di Pasal 23 itu. Setelah itu baru mengalokasikan ruang untuk kegiatan lainnya," ucapnya.
Bahkan di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 Pasal 35 ayat K disebutkan, dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan, dan atau merugikan masyarakat sekitar.
Sementara kegiatan tambang di Raja Ampat itu berpotensi berdampak pada terganggunya ekosistem pesisir karena kegiatan pertambangan dapat menimbulkan sedimentasi di pesisir laut.
"Bahkan itu sudah ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) bahwa itu tidak diperbolehkan," kata Aris.
Sementara yang terjadi di lapangan selama ini justru tidak sepenuhnya mengacu pada UU tersebut. Salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan kewenangan antar kementerian dan lembaga.
Bahlil Lahadalia mempresentasikan soal Raja Ampat yang disorot karena tambang nikel. (YouTube Sekretariat Presiden)Aris bilang, banyak lokasi tambang yang berada di kawasan hutan sedangkan KKP tidak memiliki kewenangan penuh atas pertambangan di kawasan hutan karena itu merupakan wilayah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hal ini sesuai sistem perizinan OSS (Online Single Submission) yang mengatur pemanfaatan lokasi tersebut menjadi wewenang KLHK. Sementara KKP hanya berwenang memberi izin di areal penggunaan lain (APL).
"Secara Undang-Undang Cipta Kerja, kewenangan KKP untuk memberikan izin dan rekomendasi itu tidak ada pembatasan. Jadi kawasan hutan pun diperbolehkan. Tetapi di dalam sistem OSS langsung dibedakan," jelasnya.
"Ketika dia itu APL maka diteruskan ke KKP untuk mendapatkan izin dan rekomendasi. Ketika itu hutan, ya itu kewenangan full di Hutan (KLHK) katanya karena peruntukannya hutan. Seolah-olah kalau hutan pasti tidak ada dampak gitu," sambungnya.
"Jadi memang ini perlu ke depan harmonisasi terhadap kewenangan KKP di dalam pemberian izin. Tidak hanya di APL, tapi juga di kawasan hutan. Mungkin ke depannya ini perlu dikoordinasikan dengan yang mengelola OSS, BKPM," tambah dia.
Sebelumnya, kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat menimbulkan kehebohan lantaran kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilestarikan terancam rusak akibat kegiatan pertambangan.
Akhirnya pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan tambang nikel di kawasan tersebut terhitung mulai Selasa (10/6/2025).
Empat IUP yang dicabut adalah milik empat perusahaan pertambangan nikel, yakni PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond, dan PT Nurham.
Sementara itu, izin IUP untuk PT Gag tidak dicabut oleh pemerintah.
IUP PT Gag Nikel tidak dicabut, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, lantaran telah melakukan eksplorasi tambang di Raja Ampat sejak 1972 atau pada masa Orde Baru.
Meski begitu menurut Bahlil, pemerintah akan mengawasi dengan ketat pelaksanaan kegiatan pertambangan nikel oleh PT Gag di Raja Ampat.
"Sekalipun (IUP) Gag tidak kita cabut, tetapi kita atas perintah Bapak Presiden kita mengawasi khusus dalam implementasinya," kata Bahlil saat konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa kemarin.
Tag: #polemik #tambang #raja #ampat #akan #kaji #ulang #aturan #pemanfaatan #pulau #kecil