



Utang Pangkal Efisiensi Anggaran, Hemat Pangkal Danantara
BESARNYA utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 800,33 triliun serta utang baru sebesar Rp 775,9 triliun, tentunya tidak mencukupi jika dibayar hanya dengan saldo kas dan setara kas yang tersedia sekitar Rp 400-an triliun.
Untuk itu, pemerintah harus berhutang hingga Rp 1.576,23 triliun pada 2025, dengan asumsi tidak menggunakan saldo kas dan setara kas pada pembiayaan.
Saat yang sama, tuntutan pemenuhan janji Presiden Prabowo Subianto untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Swasembada pangan dan pembukaan lahan pertanian/pangan, swasembada energi, pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan khususnya sains dan teknologi, kenaikan gaji hakim, membuat sekolah unggulan, bahkan hingga “Danantara”, tentunya menghadapi kesulitan anggaran.
Saat bersamaan, anggaran pemerintah telah dikavling untuk belanja mandatory sektor pendidikan sebesar 20 persen dari keseluruhan belanja negara, dan belanja Proyek Strategis Nasional (PSN) peninggalan Joko Widodo, termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sehingga memunculkan wacana menghentikan beberapa PSN yang dianggap tidak ekonomis.
Jalan pintasnya adalah memotong anggaran “selain” anggaran pemenuhan janji Presiden Prabowo, mandatory spending sektor pendidikan, dan beberapa PSN dengan istilah “kebijakan efisiensi”.
Meskipun pemerintah tidak konsisten dengan mengecualikan 17 kementerian/lembaga yang bukan bagian dari janji presiden, mandatory spending, maupun PSN.
Hemat pangkal Danantara
Bagaikan peribahasa hemat pangkal kaya, Presiden Prabowo Subianto bernarasi bahwa penghematan anggaran hingga Rp 750 triliun akan digunakan untuk investasi pemerintah.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita senantiasa berhemat dalam arti membuat pilihan membeli harga termurah dengan uang yang ada.
Sedangkan, yang dihadapi Republik Indonesia bukanlah berhemat untuk membuat pilihan harga termurah, tapi uang untuk membeli barang pun tidak tersedia.
Saat ini pemerintah tidak memiliki rasio likuiditas yang baik. Sebagai contoh kita lihat LKPP Audited Tahun 2023 (karena LKPP Tahun 2024 sedang dalam proses audit BPK), di mana kas dan setara kas sebesar Rp 430,7 triliun dan kewajiban jangka pendek sebesar Rp 1.092,3 triliun.
Rasio likuiditas (kas dan setara kas dibagi kewajiban jangka pendek) sebesar 0,39 (atau 39 persen), yang berarti pemerintah hanya mampu melunasi sebesar 39 persen kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo dalam waktu kurang dari 12 bulan.
Sangat tidak logis jika pemerintah berpikir melakukan investasi melalui “Danantara”, sedangkan likuiditas kasnya saja rendah.
Pada LKPP Tahun 2024, kemungkinan utang jangka pendek atau utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2025 lebih besar daripada 2024, sehingga rasio likuiditas untuk tahun ini bakal lebih kecil lagi dari tahun lalu.
Belum lagi jika kita melihat aspek potensi pendapatan negara yang “shortfall” pada 2025 ini. Kenaikan PPN dari 11 ke 12 persen yang ditunda atau dikhususkan untuk barang mewah serta kemungkinan perlambatan ekonomi sebagai akibat kebijakan anggaran (fiskal) dan ekonomi pemerintah yang tidak menentu tentunya bisa membuat defisit APBN tahun 2025 pada realisasi anggaran nantinya lebih besar daripada angka perencanaan anggaran.
Warisan Joko Widodo
Akar masalah utama adalah manajemen utang pemerintah di era Joko Widodo. Presiden ketujuh Jokowi meningkatkan saldo utang pemerintah dari Rp 2.608,7 triliun pada Desember 2024 menjadi Rp 8.680,13 triliun pada November 2024 atau meningkat sebesar Rp 6.071,43 triliun atau 232,7 persen.
Keunikan terjadi di mana sepanjang tiga masa kepresidenan, Menteri Keuangan yang mengelola utang tersebut adalah Sri Mulyani Indrawati.
Menkeu seharusnya memberikan proposal yang lebih baik, tidak hanya bergantung pada ambang batas utang terhadap PDB sebesar 60 persen sesuai UU Keuangan Negara, tapi harus mengajukan proposal mengoptimalkan kinerja investasi pemerintah dengan baik sejak dulu.
Karena Menkeu selain bertindak sebagai Bendahara Umum Negara dan pengelola fiskal pemerintah, juga sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara dipisahkan.
Sekarang “nasi telah menjadi bubur”, apa yang dirintis Presiden Prabowo Subianto dengan ide “Danantara” sangat baik.
Sebelum terlambat, kita harus fokus pada kinerja investasi pemerintah agar ketergantungan pemerintah pada pendapatan perpajakan dan utang dapat dikurangi dengan membaiknya kinerja investasi pemerintah.
Menkeu Sri Mulyani mesti bertanggungjawab atas prinsip pengelolaan utangnya selama ini. Salah satu pertanggungjawabnnya adalah mengajukan proposal penjadwalan ulang pembayaran utang jatuh tempo, khususnya utang SBN yang dibeli oleh bukan penduduk atau “aliran modal asing” dan utang pinjaman luar negeri.
Sehingga, pada akhirnya program unggulan Presiden Prabowo untuk membawa kesejahteraan umum dapat dicapai.
Defisit APBN dan utang Pemerintah Pusat
Pada UU Nomor 62 Tahun 2024 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025 (atau disebut singkat UU APBN 2025), anggaran pendapatan direncanakan sebesar Rp 3.005,1 triliun, dan anggaran belanja sebesar Rp 3.621,3 triliun. Sehingga, defisit APBN 2025 direncanakan sebesar Rp 616,2 triliun.
Dalam ketentuan UU Keuangan Negara, defisit ditutup dengan penerimaan pembiayaan, salah satunya dengan utang/pinjaman.
Pemerintah menyatakan angka defisit tersebut sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDB ADHK) sebesar 5,2 persen.
Dengan demikian, pemerintah memperkirakan pada tahun 2025, PDB ADHB Indonesia mencapai Rp 24.355,7 triliun.
Jika pemerintah dan DPR menyatakan target defisit sebesar 2,53 persen dari angka perkiraan PDB ADHB tahun 2025, maka telah memenuhi ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, yaitu maksimal 3 persen dari PDB.
Semoga perkiraan tersebut dapat dicapai meskipun menghadapi kejutan kebijakan baru soal efisiensi anggaran dan Danantara.
Saat negara membutuhkan utang baru untuk menutup defisit anggaran, pemerintah juga menghadapi utang jatuh tempo hingga Rp 800,33 triliun yang terdiri dari utang SBN sebesar Rp 705,5 triliun dan utang pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun (sumber: Siaran Pers Kemenkeu, Kompas.com).
Sehingga tahun 2025, pemerintah sekurang-kurangnya harus berhutang sebesar Rp 1.416,53 triliun, di mana Rp 800,33 triliun untuk mengganti utang jatuh tempo tahun 2025 (gali lubang tutup lubang), dan Rp 616,2 triliun untuk menutup rencana defisit APBN 2025.
Namun dengan rencana pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp 775,9 triliun (UU APBN 2025), maka pemerintah pusat harus berhutang sebesar Rp 1.576,23 triliun, di mana Rp 800,33 triliun untuk melunasi utang jatuh tempo pada tahun 2025 dan Rp 775,9 triliun utang baru untuk memenuhi rencana penerimaan pembiayaan utang.
Rencana pembiayaan utang sebesar Rp 775,9 triliun, yang terdiri dari SBN sebesar Rp 642,6 triliun dan pinjaman sebesar Rp 133,3 triliun, menunjukkan utang baru tidak hanya digunakan untuk menutup defisit sebesar Rp 616,2 triliun, tapi juga untuk mendanai pengeluaran pembiayaan sebesar Rp 159,7 triliun.
Pengeluaran pembiayaan sebesar Rp 159,7 triliun ditambah hasil pengelolaan aset sebesar Rp 262 miliar digunakan untuk investasi pemerintah di BUMN/Organisasi Internasional/Investasi lainnya sebesar Rp 154,5 triliun dan pemberian pinjaman ke BUMN/Pemda sebesar Rp 5,4 triliun. (sumber: Perpres Nomor 201 Tahun 2024 Tentang Rincian APBN 2025)
Jika mengandalkan penggunaan saldo kas negara sebesar kurang lebih Rp 400 triliun, maka tidak cukup untuk menutup pembayaran utang jatuh tempo tahun 2025 sebesar Rp 800,33 triliun.
Pada Neraca Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Audited Tahun 2022, saldo kas dan setara kas sebesar Rp 460,5 triliun, dan pada Neraca LKPP Audited Tahun 2023 sebesar Rp 430,7 triliun.
Melihat data historis tersebut, penulis memperkirakan saldo kas dan setara kas pada LKPP Tahun 2024 sekitar Rp 400-an triliun (LKPP Tahun 2024 masih dalam proses audit BPK).
Jika seluruh kas digunakan untuk menutup defisit APBN, maka masih kurang sekitar Rp 200 triliun. Sehingga pemerintah tetap harus berhutang.
Transparansi utang Pemerintah
Utang pemerintah pusat terdiri dari utang SBN dan utang pinjaman. Untuk diketahui publik bahwa SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
SUN terdiri dari Obligasi Negara (berjangka lebih dari 12 bulan) dan Surat Perbendaharaan Negara (berjangka sampai dengan 12 bulan).
SBSN terdiri dari Ijarah Fixed Rate (IFR) dan Global Sukuk. Sedangkan pinjaman pemerintah pusat meliputi pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri.
Posisi Utang pemerintah outstanding per November 2024 sebesar Rp 8.680,13 triliun (39,2 persen dari PDB ADHB Tahun 2024 sebesar Rp 22.139 triliun) dengan proporsi utang yang didominasi oleh SBN sebesar 88,12 persen (Rp 7.648,87 triliun) dan utang pinjaman sebesar 11,88 persen (Rp 1.031,26 triliun) (Sumber: APBN Kita, Kemenkeu, Desember 2024).
Utang pemerintah per November 2024 sebesar 39,2 persen dari PDB masih memenuhi ambang maksimal yang ditentukan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen dari PDB.
Dari total utang pemerintah pusat tersebut (Rp 8.680,13 triliun), sebesar 200,4 miliar dollar AS (dengan kurs Rp 15.943/dollar AS pada 30 November 2024 maka setara Rp 3.194,9 triliun) dimiliki oleh bukan penduduk (orang asing) atau aliran masuk modal asing pada SBN domestik (rupiah). (Sumber: SULNI, Bank Indonesia 2024).
Tentunya data dan narasi SULNI sangat mengejutkan jika benar bahwa SBN domestik dalam bentuk satuan rupiah justru dibeli oleh bukan penduduk (aliran modal asing).
Data APBN Kita Kemenkeu memaparkan bahwa SBN sebesar Rp 7.648,87 triliun terdiri dari SBN domestik (rupiah) sebesar Rp 6.173,37 triliun dan SBN Valas sebesar Rp 1.475,5 triliun.
Sedangkan pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 42,88 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,38 triliun.
Sehingga pemaparan data SULNI Bank Indonesia bahwa 200,4 miliar dollar AS (Rp 3.194,9 triliun) berasal dari aliran modal asing untuk membeli SBN domestik, maka total sebenarnya berapa aliran modal asing keseluruhan termasuk untuk utang pinjaman luar negeri sebesar Rp 988,38 triliun dan SBN Valuta Asing sebesar Rp 1.475,5 triliun.
Diperkirakan total aliran modal asing mencapai Rp 5.658,78 triliun atau 65,19 persen dari keseluruhan utang pemerintah.
Hingga saat ini transparansi publik atas utang pemerintah tidak memadai, khususnya mengenai asal-usul utang pemerintah, yaitu siapa saja pembeli SBN tidak dijelaskan oleh pemerintah.
Satu-satunya publikasi adalah SULNI, yang merupakan sistem informasi Kerjasama Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan untuk mempresentasikan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia.
Sumber informasi lainnya adalah UU APBN, Perpres Rincian APBN, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), dan Siaran Pers Kemenkeu.
Keempat sumber tersebut juga tidak merinci aliran modal asing pada SBN. Pemerintah hanya menyajikan data utang jatuh tempo, defisit, dan pembiayaan utang.
Publik mengkhawatirkan bahwa pelunasan utang pemerintah di International Monetary Fund pada 2006 sebesar Rp 117 triliun (Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), dan disusul dengan kebijakan baru utang pemerintah dengan mekanisme SBN hanya pengalihan instrument utang saja.
Instrumen utang “mungkin” berubah dari dominasi utang pinjaman ke dominasi utang SBN, namun pembelinya tetap sama, yaitu “aliran modal asing”.
Tag: #utang #pangkal #efisiensi #anggaran #hemat #pangkal #danantara