Pengamat: Jangan Sampai Frekuensi Dikuasai Perusahaan yang Hanya Ingin ''Makeup'' Lapkeu
Ilustrasi menara BTS (Base Transceiver Station). (WIKIMEDIA COMMONS/JACEK HALICKI)
11:20
23 Februari 2025

Pengamat: Jangan Sampai Frekuensi Dikuasai Perusahaan yang Hanya Ingin ''Makeup'' Lapkeu

Direktur eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyoroti rancangan peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi 1,4 GHz. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sendiri telah menyelesaikan konsultasi publik terkait RPM tersebut.

Menurut Heru, dalam draft RPM tersebut rencananya Komdigi memperbolehkan seluruh pemegang izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal (jartaplok) berbasis packet switched untuk mengikuti lelang spektrum frekuensi 1,4 GHz. 

Dia menyebutkan, lisensi jartaplok yang diberikan Komdigi sejatinya dipergunakan untuk penyelenggara telekomunikasi berbasis fiber optik. Sedangkan pemegang izin jartaplok tidak diberikan izin frekuensi. Pasalnya, izin penggunaan frekuensi selama ini diperuntukkan bagi operator selular.

Komisioner BRTI periode 2006–2008 itu menilai, seharusnya Komdigi mendesak pemegang izin jartaplok itu untuk dapat membangun jaringan telekomunikasi berbasis fiber optik terlebih dahulu, sebelum memperbolehkan penyelenggaraan jartaplok ikut lelang 1,4Ghz. Hal ini sesuai dengan komitmen pembangunan yang mereka buat ketika mendapatkan izin penyelenggaraan.

“Jangan sampai mereka belum memenuhi komitmen pembangunannya jartaplok, mereka sudah diperbolehkan mengikuti lelang frekuensi 1,4 GHz. Jangan sampai objektif pemerintah mempercepat penetrasi broadband di Indonesia tertunda karena mereka tak memenuhi komitmen pembangunannya,” kata Heru dalam keteranganya, dikutip Minggu (23/2/2025).

Jika penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet switched mendapatkan frekuensi 1,4 GHz, Heru memperkirakan akan merusak industri yang sudah ada. Sebab BHP frekuensi 1.4 GHz jauh lebih murah ketimbang selular.

“Jangan sampai lelang frekuensi 1,4 GHz malah menambah jumlah pemain. Padahal sejak lama Komdigi ingin segera terjadi konsolidasi penyelenggara telekomunikasi. Saat ini industri telekomunikasi nasional dalam kondisi tidak baik," kata dia.

"Sebelum mengizinkan pemegang izin jartaplok ikut lelang 1.4Ghz, harusnya Komdigi dapat menyehatkan industri telekomunikasi terlebih dahulu dengan menurunkan BHP frekuensi operator selular. Setelah itu baru melelang frekuensi 1.4Ghz untuk operator pemegang izin jartaplok,” tambah dia.

Dalam lelang frekuensi 1,4 GHz, Heru meminta agar Komdigi dapat melihat kekuatan kapital yang dimiliki peserta lelang. Jangan sampai frekuensi 1,4 GHz dikuasai oleh pihak-pihak yang hanya akan memoles perusahaannya untuk kembali dijual.

Menurut dia, Indonesia punya pengalaman buruk ketika Natrindo Telepon Seluler (NTS) yang menguasai frekuensi. Karena kekuatan finansialnya terbatas, mereka menjual ke Saudi Telecom Company (STC). Setelah itu STC yang memiliki brand Axis dijual ke XL Axiata.

Selain itu frekuensi 2100 Mhz 1800 MHz milik negara juga pernah dikuasai Cyber Access Communication (CAC). Namun karena kekuatan finansialnya terbatas, di tahun 2006 sebagian besar saham PT CAC dialihkan ke Hutchison Telecom.

“Ini pembelajaran bagi Komdigi dan kita semua jangan sampai frekuensi dikuasai perusahaan yang semata-mata hanya ingin melakukan makeup laporan keuangan dan menaikan value perusahaan. Kalau kebutuhan mereka hanya itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia tak mendapatkan manfaat dari frekuensi. Padahal pemerintah memiliki objektif untuk menyediakan layanan telekomunikasi bagi masyarakat,” kata Heru.

Tag:  #pengamat #jangan #sampai #frekuensi #dikuasai #perusahaan #yang #hanya #ingin #makeup #lapkeu

KOMENTAR