Revisi UU Perkoperasian, Upaya Modernisasi
Ilustrasi(Kompas.id)
11:12
22 Februari 2025

Revisi UU Perkoperasian, Upaya Modernisasi

KOPERASI dinilai kuno oleh sebagian masyarakat dibanding entitas lain. Tak hanya itu, juga dinilai memiliki kelemahan inheren.

Singkatnya, koperasi dianggap memiliki banyak limitasi yang membuatnya tak bisa tumbuh secara akseleratif.

Pandangan itu tak keliru. Secara nasional volume usaha saat ini mencapai Rp 197,9 triliun yang dihasilkan oleh 130.000-an unit koperasi (Kemenkop, 2023).

Itu artinya rata-rata koperasi hanya ciptakan omzet Rp 1,5 miliar/tahun. Bandingkan dengan Vietnam yang rata-rata volume usahanya mencapai Rp 3,1 miliar/tahun dari 32.000 koperasi (ICA AP, 2024).

Capaian Vietnam itu tak lepas dari pengaruh pembaruan regulasi yang telah mereka lakukan pada 2012. Bahkan pada 2023 lalu, mereka baru saja revisi kembali UU Perkoperasiannya.

Pembaruan yang dilakukan seperti aturan kontribusi modal menjadi lebih jelas serta pembatasan investasi asing (foreign investment) maksimal 30 persen dari modal koperasi.

Sedangkan kita, tahun yang sama pernah lakukan revisi dan hasilkan UU No. 17 Tahun 2012. UU tersebut diuji (judicial review) dan dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2013.

MK memerintahkan berlakunya kembali UU No. 25 Tahun 1992 sampai lahirnya UU baru. Sekarang, direncanakan revisi UU Perkoperasian akan dibahas dan disahkan sepanjang bulan Februari-Maret oleh DPR RI.

Modernisasi

Ibarat mobil, cetak biru kelembagaan koperasi ditentukan dalam UU Perkoperasian. Apakah mesin mobil itu memungkinkan melaju 120 km/jam atau hanya 60 km/jam.

Kinerja koperasi kita saat ini merupakan hasil dari UU yang telah lama, out of date. Hasilnya lambat dan sulit melaju.

Hal itu yang coba dijawab dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Perkoperasian sekarang (Kemenkop, 2023). Banyak norma dimodernisasi agar koperasi dapat tumbuh maksimal.

Pertama terkait keanggotaan, di mana RUU mengatur adanya Anggota Pendiri untuk merekognisi peran entrepreneurial para pendiri.

Tujuannya untuk mencegah terjadinya—meminjam istilah kolega saya, Dr. Suwandi—deentrepreneurship pada koperasi. Rekognisi tersebut membuat entrepreneurship pada koperasi dapat diapresiasi dengan insentif tertentu.

Kedua, aspek organisasi di mana RUU mengatur adanya model baru yang disebut Jenjang Tunggal seperti di negara lain.

Dalam model ini, perangkat organisasi terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Direksi. Koperasi dengan model atau skala bisnis tertentu, dapat mengadopsinya. Dengan model itu organisasi menjadi lebih efektif dan efisien.

Meski demikian, RUU tetap merekognisi model konvensional dengan perangkat organisasi: Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas, sehingga masyarakat tetap dapat menggunakannya.

Ketiga, guna mendukung akselerasi usaha, RUU meredefinisi ketentuan permodalan. Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib diubah menjadi Uang Tanda Masuk Anggota (entrance fee) dan Modal Anggota.

Di mana Modal Anggota dapat diwujudkan dalam satuan tertentu seperti unit, lembar atau lainnya. Juga diatur bahwa instrumen itu dapat dialihkan sebagian kepada anggota lain. Mekanisme itu akan membuat ekuitas koperasi menjadi lebih stabil dan tumbuh.

Menggenapi itu, RUU juga mengatur adanya Dana Kemitraan guna mendukung pendanaan proyek usaha koperasi atau anggotanya.

Tujuan dasarnya untuk mengungkit pertumbuhan sektor riil. Instrumen ini berpeluang dimanfaatkan oleh koperasi agribisnis, perumahan, pertambangan, kreatif, digital dan lainnya untuk ekspansi usaha.

Keempat, mengikuti putusan MK No. 28/PUU-XI/2013, RUU menghapus ketentuan penjenisan koperasi karena dinilai mengkerdilkan.

Seperti dipahami, koperasi saat ini dibagi lima jenis: konsumen, produsen, jasa, pemasaran dan simpan-pinjam.

RUU menentukan bahwa koperasi dapat berusaha di seluruh lapangan usaha sebagaimana entitas lain.

Juga RUU telah mengafirmasi bahwa koperasi dapat menggunakan teknologi digital dalam usaha dan layanannya, baik dikembangkan secara mandiri atau bermitra dengan pihak lain.

Selaras dengan penghapusan jenis di atas, RUU mengatur koperasi berdasar sektor usaha. Yaitu Koperasi Sektor Riil, Koperasi di Sektor Jasa Keuangan dan Usaha Simpan Pinjam Koperasi.

RUU juga telah memberi banyak insentif bagi Koperasi Sektor Riil yang saat ini belum tumbuh maksimal.

Bandingkan dengan Vietnam di mana 61 persen koperasi bergerak di usaha agribisnis (2024). Sedangkan Indonesia, 40 persen koperasi bergerak di usaha simpan-pinjam, yang berkontribusi terhadap 62 persen volume usaha koperasi (2023).

Kelima, RUU membedakan antara surplus hasil usaha dan laba usaha. Yang pertama dihasilkan dari pelayanan usaha koperasi kepada anggota. Sedangkan laba usaha dihasilkan dari transaksi bisnis koperasi dengan pihak lain.

Pembedaan tersebut muaranya pada distingsi pajak antara transaksi yang bersifat pelayanan dengan transaksi bisnis.

Keenam, RUU mengenalkan pendekatan baru dalam pembangunan koperasi, yakni berbasis ekosistem.

Dalam RUU ditentukan sedikitnya 21 lembaga pendukung serta profesi penunjang perkoperasian.

Khusus bagi usaha simpan pinjam, RUU mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas independen seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta lembaga penjamin simpanan anggota seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pendekatan berbasis ekosistem itu memungkinkan pembangunan koperasi menjadi terintegrasi.

Ketujuh, RUU mengatur ketentuan sanksi, administratif dan pidana (secara ultimum remidium). Tujuannya untuk melindungi badan hukum koperasi serta anggotanya.

Dengan ketentuan itu, harapannya berbagai penyalahgunaan badan hukum koperasi dapat ditindak tegas. Pada sisi lain, praktik penyelewengan dapat dikenai sanksi setimpal untuk menjaga jati diri (identity) dan tata kelola (governance) koperasi.

Proyeksi

Beberapa hal di atas hanya sebagian dari banyak kebaruan yang diatur dalam RUU. Bila dibaca utuh, RUU telah mengubah cetak biru mobil (baca: koperasi) agar mesinnya dapat melaju 120 km/jam.

Dalam terang seperti itulah, dapat diproyeksikan 5-10 tahun setelah UU berlaku, wajah koperasi Indonesia akan berubah. Beberapa hal dapat diproyeksikan, sebagai berikut.

Koperasi akan mengalami pertumbuhan skala serta volume usaha. Perubahan ketentuan permodalan diperkirakan akan membuat koperasi memiliki kapasitas permodalan dan pendanaan yang lebih baik. Ini dapat meningkatkan kemampuan koperasi dalam ekspansi usaha.

Proyeksi optimistis, volume usaha koperasi bisa mencapai Rp 300 triliun - Rp 400 triliun dalam dekade pertama yang didorong oleh pertumbuhan skala koperasi.

Ke depan akan terjadi tren diversifikasi usaha dan menguatnya koperasi sektor riil. Penghapusan penjenisan koperasi serta insentif khusus bagi sektor riil dapat menggeser dominasi usaha simpan pinjam.

Dalam 5-10 tahun, proporsi volume usaha koperasi sektor riil diperkirakan meningkat signifikan. Misalnya, pada sektor agribisnis yang dapat menggeliat dengan dukungan Dana Kemitraan serta kebijakan afirmatif dari Pemerintah Daerah.

Kemudian tingkat efisiensi serta entrepreneurial koperasi menjadi lebih baik. Adopsi Jenjang Tunggal serta rekognisi Anggota Pendiri berpotensi meningkatkan efisiensi tata kelola serta menumbuhkan semangat kewirausahaan dalam koperasi.

Dalam jangka 5-10 tahun, koperasi dengan model ini bisa menjadi role model. Dapat diproyekskan 20-30 persen koperasi akan beralih ke model ini yang membuat daya saing serta kapasitas inovasinya meningkat.

Selain itu, dengan adanya dua pilar lembaga pendukung bagi koperasi simpan-pinjam, kepercayaan anggota dan masyarakat dapat meningkat tajam.

Dalam 5-10 tahun, tingkat kepercayaan mereka terhadap koperasi akan naik karena adanya pengawasan yang kuat dan penjaminan simpanan.

Diprediksi jumlah anggota koperasi bisa meningkat 30-50 persen dari capaian saat ini pada 5-10 tahun mendatang.

Pada sisi lain daya saing serta investasi pada koperasi akan naik. Penguatan ekuitas dan instrumen Dana Kemitraan dapat menarik minat investor domestik maupun luar negeri.

Dalam 10 tahun, koperasi Indonesia berpotensi menjadi pemain yang lebih kompetitif di tingkat nasional. Diproyeksi rata-rata volume usaha koperasi meningkat menjadi 5-10 kali lipat selaras dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat.

Kemudian terakhir dan terpenting adalah penurunan kasus penyalahgunaan badan hukum koperasi serta penyelewengan tata kelola.

Dengan adanya ketentuan sanksi administratif dan pidana, jumlah kasus investasi bodong, koperasi cangkang, koperasi rentenir dan sejenisnya dapat menurun tajam.

Dalam 5-10 tahun, dengan penegakan hukum yang kuat, kasus-kasus di atas akan berkurang sampai 50 persen. Sedangkan pada aspek tata kelola, kasus penyelewengan akan menurun dan kepatuhan koperasi akan meningkat pesat.

Tantangan

Proyeksi di atas cukup feasible bila Pemerintah dapat mengantisipasi beberapa tantangan dalam implementasi UU tersebut.

Yang paling elementer adalah sosialisasi kepada koperasi, masyarakat serta pemangku kepentingan lain (dinas, notaris dan sebagainya).

Banyak dijumpai, misalnya, koperasi masih menggunakan sebagian ketentuan pada UU No. 12/ 1967 yang sebenarnya telah dicabut oleh UU No. 25/ 1992. Hal itu memperlihatkan tingkat adopsi regulasi berjalan cukup lambat.

Untuk mempercepat, selain sosialisasi, Pemerintah bisa membuat kebijakan insentif-disinsentif agar koperasi cepat menyesuaikan diri melalui Perubahan Anggaran Dasar (PAD) mereka.

Selain itu, Pemerintah perlu secepatnya menyiapkan regulasi turunan (PP, Permen dan pedoman) agar berbagai ketentuan pada UU tersebut dapat dioperasionalkan segera.

Dengan beberapa hal di atas, dalam 5-10 tahun mendatang, koperasi Indonesia berpotensi mengalami transformasi signifikan di mana volume usaha meningkat dua kali lipat, sektor riil mendominasi, dan citra "kuno" berganti menjadi entitas modern yang kompetitif.

Namun, keberhasilan ini bergantung pada implementasi yang konsisten dan kecepatan adopsi oleh masyarakat. Jika berhasil, ibarat mobil, koperasi bisa melaju 120 km/ jam, bahkan lebih.

Saban tahun World Cooperative Monitor (WCM) merilis daftar 300 koperasi besar dunia. Peringkat terakhir, Manuten Coop dari Italia memiliki omset Rp 20 triliun (2023).

Dengan modernisasi di atas, peluang koperasi Indonesia masuk dalam daftar itu makin terbuka. Tentu saja butuh waktu dan ikhtiar itu dimulai dari sekarang, bertepatan dengan momentum International Year of Cooperative (IYC) 2025. Semoga.

Tag:  #revisi #perkoperasian #upaya #modernisasi

KOMENTAR