



Mengurai Paket Insentif Pajak Era Prabowo
DALAM konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, pada 17 Februari lalu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan berbagai kebijakan stimulus ekonomi yang salah satunya terkait diskon pajak bagi masyarakat (Kompas.com, 17/2/2025).
Penyampaian Presiden Prabowo sejalan dengan ditetapkannya tiga peraturan menteri keuangan secara bersamaan pada 4 Februari lalu, yang isinya mengesahkan sejumlah insentif pembebasan pajak yang berlaku sepanjang 2025.
Pertama, ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 10/2025 yang membebaskan pajak penghasilan (PPh) bagi karyawan yang bekerja di industri alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta barang dari kulit. Fasilitas bebas pajak tersebut berlaku hingga akhir 2025.
Kriteria penerimanya adalah karyawan yang bekerja di industri padat karya tersebut dengan penghasilan sebulan tidak melebihi Rp 10 juta.
Dengan demikian, karyawan yang memenuhi kriteria tersebut akan menerima gaji secara penuh tanpa dipotong pajak hingga Desember 2025.
Sistem pajak nasional sebenarnya memang telah memiliki kebijakan batas penghasilan yang tidak dikenai pajak (PTKP) bagi karyawan. Besarannya antara Rp 54 juta hingga Rp 72 juta dalam setahun tergantung jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan.
Namun, pembebasan pajak penghasilan yang dikhususkan bagi karyawan tertentu terbilang jarang terjadi.
Terakhir kali pemerintah menerapkan kebijakan serupa adalah pada saat pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.
Saat itu, untuk mempertahankan daya beli masyarakat, pemerintah membebaskan pajak penghasilan bagi karyawan yang memiliki penghasilan setahun tidak melebihi Rp 200 juta. Insentif tersebut berlaku sepanjang April 2020 hingga Desember 2021.
Keputusan pemerintahan Prabowo untuk kembali memperluas pembebasan pajak penghasilan bagi karyawan tentu menjadi angin segar, terutama bagi pekerja di industri padat karya yang kian menghadapi tantangan perubahan ekonomi.
Industri tekstil, salah satunya, menjadi penyumbang terbesar angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan lebih dari 13.000 pekerja kehilangan pekerjaan sepanjang 2024.
Gelombang PHK tersebut terjadi seiring tergerusnya pangsa pasar tekstil dalam negeri oleh produk tekstil impor (Kompas.id, 1/7/2024).
Dengan adanya insentif bebas pajak penghasilan, kesejahteraan karyawan di industri terkait diharapkan dapat meningkat sekaligus mendorong daya beli yang akan berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 8 persen.
Kedua, pemerintah juga memperluas kebijakan insentif pajak atas pembelian mobil listrik. Diatur lewat PMK No. 12/2025, pembelian mobil listrik kini sepenuhnya tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pada kebijakan sebelumnya, seperti yang pernah saya urai dalam kolom “Ragam Insentif Pajak Kendaraan Listrik” (Kompas.com, 3/11/2024), pemerintah memang telah memberikan insentif diskon PPN atas pembelian mobil listrik. Namun, PPN-nya masih dikenakan sebesar 1 persen dari harga pembelian.
Tidak hanya membebaskan penuh PPN, beleid baru tersebut juga memperluas kriteria kendaraan ramah lingkungan yang memperoleh fasilitas dibebaskan pajak penjualan barang mewah (PPnBM).
Pada ketentuan awal di PMK No. 135/2024, fasilitas bebas PPnBM semula hanya diberikan atas pembelian mobil listrik saja.
Kini, mobil hibrida yang tergolong kendaraan emisi karbon rendah (low carbon emission vehicle/LCEV) juga ikut memperoleh insentif bebas PPnBM tersebut.
Kebijakan bebas PPN dan PPnBM ini akan berlaku sepanjang 2025. Tujuannya mengakselerasi ekosistem kendaraan ramah lingkungan yang ditargetkan mencapai 20 persen dari total jumlah kendaraan di tahun ini.
Pemangkasan pajak diharapkan akan membuat harga mobil listrik dan ramah lingkungan lebih kompetitif. Sebagai contoh, untuk mobil seharga Rp 500 juta, PPN yang dikenakan seharusnya sebesar 11 persen atau setara Rp 55 juta.
Dengan demikian, untuk mobil konvensional, harga belinya setidaknya menjadi Rp 555 juta dan belum termasuk biaya-biaya lainnya seperti bea balik nama dan PPnBM yang mungkin dikenakan. Namun, untuk mobil listrik, pembeli tidak perlu membayar PPN dan PPnBM sama sekali.
Kebijakan diskon pajak yang sudah berlangsung sejak 2023, menjadi salah satu faktor naik pesatnya angka penjualan mobil listrik nasional. Sepanjang 2024, penjualan kendaraan listrik tercatat melonjak setidaknya hingga 168 persen (Kompas.com, 30/12/2024).
Ketiga, pemerintah juga memutuskan untuk kembali memperpanjang diskon PPN atas pembelian rumah hingga Desember 2025. Keputusannya disahkan melalui PMK No. 13/2025.
Skema kebijakannya tidak mengalami perubahan, sebagaimana pernah saya uraikan juga dalam kolom “Memanfaatkan Diskon PPN Pembelian Rumah” (Kompas.com, 12/3/2024).
Insentif diberikan untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun yang harganya paling tinggi Rp 5 miliar dengan jumlah PPN yang dibebaskan maksimum Rp 220 juta.
Misalnya, untuk rumah seharga Rp 2 miliar, PPN yang seharusnya dibayarkan adalah sebesar 11 persen atau Rp 220 juta. Dengan demikian, pembelian rumah yang harganya tidak melebihi Rp 2 miliar tidak akan dikenakan PPN.
Kemudian, untuk rumah seharga Rp 5 miliar, PPN yang seharusnya adalah sebesar Rp 550 juta. Namun, pembeli akan memperoleh diskon PPN senilai Rp 220 juta dan hanya akan membayar PPN sebesar Rp 330 juta.
Tahun ini menjadi tahun keempat pemerintah memangkas PPN atas pembelian rumah. Kebijakan serupa pertama kali dijalankan sepanjang 2021 dan 2022 yang saat itu ditujukan untuk menstimulasi industri properti yang terkontraksi akibat pandemi.
Kemudian, mulai November 2023, pemerintah kembali menjalankan insentif tersebut untuk meningkatkan daya beli hunian di masyarakat yang diharapkan berdampak positif pada industri lahan yasan (real estate) sekaligus mengatasi backlog kepemilikan hunian. Kebijakannya pun terus berlanjut hingga kini.
Tiga paket insentif pajak yang diterbitkan pada awal Februari ini menjadi bagian dari stimulus fiskal yang dijalankan pemerintahan Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025.
Di luar paket kebijakan tersebut, pemerintah juga memperpanjang insentif pajak penghasilan bertarif 0,5 persen bagi orang pribadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Insentifnya ditargetkan berlaku hingga akhir 2025, setelah sebelumnya dijadwalkan berakhir pada 2024 bagi individu pelaku UMKM yang telah menjadi wajib pajak sejak 2018 atau sebelumnya.
Kriteria penerimanya masih sama, yakni orang pribadi pelaku UMKM yang omzet setahunnya tidak melebihi Rp 4,8 miliar. Selain insentif PPh 0,5 persen, fasilitas bebas pajak untuk omzet di bawah Rp 500 juta juga ikut diperpanjang.
Kabar perpanjangan ini pertama kali disampaikan pada Desember 2024 lalu ketika muncul desakan dari berbagai pihak agar pemerintah meneruskan insentif pajak bertarif rendah bagi UMKM.
Meski hingga kini belum terdapat aturan teknis yang merinci kebijakan perpanjangan jangka waktu tersebut, pemerintah tetap memastikan bahwa PPh 0,5 persen bagi UMKM orang pribadi tetap akan berlaku sepanjang 2025.
Berbagai keringanan pajak yang ditetapkan pemerintahan Prabowo sebagian besar sebenarnya merupakan perpanjangan dari kebijakan insentif yang telah ada sejak era pemerintahan Joko Widodo.
Keputusan untuk melanjutkannya menjadi penting untuk tetap menjaga daya beli masyarakat. Namun, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan.
Bertambahnya insentif pajak diproyeksikan akan membuat belanja perpajakan tahun ini naik 11,4 persen dibanding tahun lalu mencapai Rp 445,5 triliun.
Oleh karena itu, agar tidak membebani anggaran pemerintah sekaligus untuk tetap berada di jalur mencapai target kenaikan rasio pajak, perluasan insentif pajak harus diimbangi dengan tambahan objek pajak baru yang lebih berkeadilan.
Pajak kekayaan yang menargetkan masyarakat ekonomi kelas atas, misalnya, menjadi opsi yang berulang kali dianjurkan di kalangan akademisi dan praktisi perpajakan. Selain itu, ada juga pajak karbon yang realisasinya hingga kini masih menanti kepastian.
Banyak upaya tentunya dapat dijalankan untuk membuat sistem perpajakan kian progresif. Namun, untuk saat ini, berbagai stimulus pajak yang dijalankan pemerintahan Prabowo telah menunjukkan langkah mewujudkan komitmen untuk semakin meningkatkan keadilan perpajakan.