Ironi Danantara: Tak Tersentuh BPK dan KPK, Mantan Presiden Jadi Pengawas
Sejumlah karyawan mengobrol di depan Gedung Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) di Jakarta, Jumat (7/2/2025). BPI Danantara telah dibentuk melalui pengesahan RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN menjadi UU akan mengelola dan mengoptimalkan seluruh aset dan investasi BUMN. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
09:56
21 Februari 2025

Ironi Danantara: Tak Tersentuh BPK dan KPK, Mantan Presiden Jadi Pengawas

MENYAMBUT peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025, ada satu hal penting yang harus dicermati oleh publik terkait model pengawasan Danantara.

Ada ironi dalam model pengawasan Danantara. Ironi tersebut adalah BPK dan KPK yang seharusnya dilibatkan dalam pengawasan Danantara, malah tidak dilibatkan.

Namun disisi lain, para mantan Presiden RI terdahulu yang seharusnya tidak dilibatkan dalam pengawasan Danantara, malah akan dilibatkan.

Danantara sudah mengadopsi ketentuan dalam UU BUMN yang baru, sehingga tidak "diproses" atau "diperiksa" oleh KPK dan BPK. Namun, seandainya terjadi tindak pidana di dalamnya, tetap diproses hukum.

Danantara akan disupervisi oleh Dewan Pengawas Danantara. Selain itu, DPR juga masih akan berperan untuk mengawasi Danantara.

Bahaya terbesar tidak dilibatkannya BPK dan KPK dalam model pengawasan Danantara adalah munculnya potensi terjadinya korupsi di Danantara akan menjadi sangat besar.

Danantara diperkirakan akan mengelola aset sekitar Rp 14.000 triliun, dan mengendalikan pengelolaan dari tujuh BUMN terbesar milik Republik ini, yakni Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Nasional Indonesia, Pertamina, PLN, Telkom dan MIND ID.

Nilai aset yang dikelola Danantara sebesar Rp 14.000 triliun ini berarti sekitar empat kali besarnya APBN 2025 yang hanya sekitar Rp 3.621 triliun.

Dengan besarnya jumlah aset yang dikelola tersebut, maka potensi terjadinya korupsi di Danantara akan sangat besar.

Logikanya sederhana, dana APBN yang hanya Rp 3.621 triliun saja yang diawasi oleh BPK dan KPK, sangat rentan dikorupsi. Apalagi aset sebesar Rp 14.000 triliun Danantara yang tidak diawasi oleh BPK dan KPK, justru potensi korupsinya akan jauh lebih besar.

Apalagi kalau ternyata yang menjadi pengawas Danantara adalah para mantan presiden. Argumentasinya sederhana, Danantara adalah lembaga keuangan (investasi), sementara para mantan presiden tidak ada yang memiliki keahlian di bidang keuangan dan investasi.

Dampaknya tentu akan menyebabkan pengawasan terhadap Danantara menjadi sangat lemah ketika para mantan presiden dilibatkan sebagai pengawas Danantara.

Lazimnya, karena Danantara ini merupakan perusahaan yang berfokus pada investasi dan pengelolaan aset keuangan, maka yang menjadi pengawasnya adalah para profesional yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam bidang keuangan.

Oleh karena itu, seharusnya yang menjadi pengawas Danantara adalah para akademisi (dosen/guru besar) di bidang keuangan, para ahli keuangan yang ada di BI, OJK, dan Industri Keuangan, yang mengerti betul tentang seluk beluk pengelolaan aset keuangan, dan bukan justru para mantan Presiden RI yang tidak punya keahlian di bidang keuangan.

Rekam jejak para mantan presiden terdahulu lebih menonjol perannya sebagai politisi. Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDIP.

Susilo Bambang Yudhoyono adalah pendiri, mantan ketua umum dan saat ini menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.

Sementara Joko Widodo, meskipun tidak pernah menjabat ketua umum Partai Politik, namun menjadi tokoh sentral dari organisasi relawan politik, antara lain Projo, Bara JP, dan Jokowi Mania.

Ada pelajaran yang sangat berharga dari negara tetangga Malaysia tentang betapa rentannya perusahaan investasi milik negara dijadikan sebagai tempat korupsi bagi para politisi.

Di Malaysia, perusahaan yang mirip dengan Danantara ini bernama “1Malaysia Development Berhad (1MDB)”.

1MDB adalah perusahaan investasi milik negara yang didirikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 2009, tak lama setelah ia menjabat.

Pada 2015, terjadilah skandal pencucian uang dan korupsi terbesar dalam sejarah Malaysia yang dikenal dengan nama “skandal 1MDB".

Dalam skandal tersebut, Perdana Menteri Najib Razak dan para pejabat tinggi Malaysia dituduh mencuri uang negara sebesar 4,5 dollar AS dari 1MDB selama 2009-2015.

Hasil uang korupsi dari 1MDB tersebut digunakan oleh Najib Razak dan pejabat tinggi Malaysia lain beserta keluarganya untuk pelesiran ke seluruh dunia, membiayai film blockbuster Hollywood "The Wolf of Wall Street", serta memberi pelbagai barang mewah mulai dari kapal pesiar hingga lukisan Van Gogh.

Lemahnya pengawasan dan intervensi politik menjadi penyebab utama terjadinya skandal korupsi di perusahaan investasi Malaysia (1MDB).

Dari kasus skandal 1MDB, dapat diambil dua pelajaran. Pertama, pengelolaan Danantara harus dilakukan dengan pengawasan ketat melalui dewan pengawas yang terdiri dari orang-orang yang ahli di bidang keuangan, investasi dan auditing.

Kedua, pengawasan Danantara harus bebas dari intervensi politik.

Danantara adalah badan pengelola investasi (sovereign wealth fund) yang dibentuk untuk mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis.

Namun, jika model pengawasan Danantara ini tidak optimal karena tidak melibatkan BPK dan KPK, maka bukan optimalisasi kekayaan negara yang didapat, tapi justru potensi pencurian kekayaan negara melalui korupsi akan semakin besar.

Tag:  #ironi #danantara #tersentuh #mantan #presiden #jadi #pengawas

KOMENTAR