PP 6/2025: Memastikan Keberlanjutan Pendanaan JKP Korban PHK
Ilustrasi PHK(pexels.com)
19:00
20 Februari 2025

PP 6/2025: Memastikan Keberlanjutan Pendanaan JKP Korban PHK

PEMERINTAH Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Ada sejumlah perubahan signifikan dalam perlindungan bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Peraturan ini bertujuan mengoptimalkan perlindungan pekerja dan mengurangi risiko sosial akibat PHK di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Salah satu perubahan utama dalam PP ini adalah peningkatan manfaat uang tunai bagi pekerja yang terkena PHK.

Sebelumnya, pekerja menerima 45 persen upah selama tiga bulan pertama dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya.

Kini, mereka berhak mendapatkan 60 persen upah selama enam bulan, dengan batas atas upah sebesar Rp 5 juta.

Perubahan ini diharapkan dapat memberikan dukungan finansial yang lebih memadai bagi pekerja selama masa transisi mencari pekerjaan baru.

Selain itu, besaran iuran JKP mengalami penyesuaian dari 0,46 persen menjadi 0,36 persen upah sebulan.

Iuran ini bersumber dari kontribusi pemerintah pusat sebesar 0,22 persen dan rekomposisi iuran Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14 persen.

Penurunan iuran ini diharapkan tidak membebani dunia usaha. Tentunya, perubahan ini lebih bersifat administratif dan teknis tanpa dampak signifikan bagi perusahaan.

Meskipun PP Nomor 6 Tahun 2025 membawa angin segar bagi perlindungan pekerja, terdapat beberapa implikasi hukum dan tantangan yang perlu diperhatikan.

Pertama, keberlanjutan pendanaan. Dengan peningkatan manfaat JKP, keberlanjutan pendanaan menjadi krusial.

Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan harus memastikan bahwa sumber dana yang ada cukup untuk memenuhi kewajiban pembayaran manfaat, terutama jika terjadi peningkatan jumlah klaim akibat PHK massal.

Transparansi dalam pengelolaan dana dan strategi investasi yang tepat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas program ini.

Kedua, pengawasan dan pencegahan penyalahgunaan. Ada celah potensi bagi perusahaan memanfaatkan program JKP untuk melakukan PHK dengan lebih mudah, mengingat pekerja akan mendapatkan kompensasi dari pemerintah.

Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa PHK dilakukan sesuai dengan prosedur dan alasan yang sah.

Sanksi tegas bagi perusahaan yang menyalahgunakan kebijakan ini harus diterapkan untuk mencegah pelanggaran.

Ketiga, efektivitas program pelatihan. Selain manfaat uang tunai, program JKP juga mencakup pelatihan bagi pekerja yang terkena PHK.

Efektivitas pelatihan ini sering dipertanyakan. Pelatihan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan memberikan keterampilan yang relevan agar pekerja dapat segera terserap kembali ke dunia kerja.

Kerja sama antara pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan menjadi penting untuk mencapai tujuan ini.

Keempat, perlindungan bagi pekerja di perusahaan pailit. PP ini menambahkan ketentuan bahwa jika perusahaan dinyatakan pailit atau tutup dan menunggak iuran maksimal enam bulan, manfaat JKP tetap dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Meskipun demikian, kewajiban perusahaan untuk melunasi tunggakan iuran dan denda tetap berlaku.

Ketentuan ini memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja. Namun, implementasinya memerlukan koordinasi yang baik antara instansi terkait untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi tanpa menimbulkan beban finansial yang berlebihan bagi BPJS Ketenagakerjaan.

PP Nomor 6 Tahun 2025 merupakan langkah progresif dalam memperkuat perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK di Indonesia.

Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada implementasi yang tepat, pengawasan yang ketat, dan kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja.

Dengan mengatasi tantangan yang ada, diharapkan program JKP dapat menjadi instrumen yang efektif dalam menjaga kesejahteraan pekerja dan stabilitas ekonomi nasional.

Tag:  #62025 #memastikan #keberlanjutan #pendanaan #korban

KOMENTAR