



Kabur Aja Dulu: Buat Indonesia Lebih Mendunia dan Hebat
BANYAK nyinyiran pejabat Republik ini terhadap tagar "kabur aja dulu" yang memandang dengan perspektif negatif.
Ada satu pejabat yang memandang dengan perspektif positif, yaitu Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Christina Aryani, yang mengatakan, “Sah-sah saja WNI mencari penghidupan yang lebih baik”.
Seharusnya pemerintah mengambil perspektif positif terhadap tagar "kabur aja dulu", yaitu menjadikannya sebagai motivasi agar bangsa Indonesia “mendunia” dan “hebat” dengan banyaknya diaspora Indonesia.
Meskipun tagar "kabur aja dulu" adalah tagar “sindiran” terhadap kondisi Republik Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Kondisi tidak baik-baik saja itu tercermin dari angka rasio gini dan pengangguran (meskipun data BPS “agak unik”), angka penurunan kelas menengah ke kelas bawah (turun kelas), dan situasi tidak menentu di tengah-tengah kebijakan pemerintah yang juga tidak menentu dan berubah-ubah.
Angka kelas menengah yang turun kelas sebesar 9,48 juta orang (BPS, Agustus 2024) hampir sama dengan jumlah diaspora bangsa Tionghoa ke seluruh dunia sebesar 11,7 juta orang (IOM, 2024).
Jika semua kelas menengah yang turun kelas bermigrasi ke luar negeri menjadi diaspora Indonesia di luar negeri, maka tagar "kabur aja dulu" tidak bisa dianggap remeh.
Hampir 10 juta orang Indonesia yang akan menjadi diaspora tentunya akan membuat Indonesia “mendunia” dan “hebat”.
Pertumbuhan populasi Indonesia yang terus meningkat di saat negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Kanada, dan Amerika Serikat mengalami penurunan populasi, semestinya menjadi kesempatan emas bagi bangsa Indonesia berdiaspora ke negara-negara kekurangan populasi tersebut dengan tagar "kabur aja dulu".
Kondisi krisis di Indonesia
Data kualitatif ketimpangan (testimoni) dengan data kuantitatif ketimpangan (rasio gini BPS) berbeda sekali.
Secara kualitatif orang-orang mengeluhkan sulitnya hidup, kelompok kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin. Parahnya lagi yang nanggung (kelas menengah) malahan jatuh miskin.
Namun, angka kuantitatif rasio gini menunjukkan tren membaik (semakin merata) dari tahun 2015 ke tahun 2024. Pada tahun 2015, rasio gini sebesar 0,402 dan terus menurun hingga tahun 2024 sebesar 0,381.
Sementara tahun 2002 ke tahun 2014 mengalami tren memburuk (semakin timpang). Rasio gini pada tahun 2002 sebesar 0,341; tahun 2005 sebesar 0,355; tahun 2007 sebesar 0,376; tahun 2008 sebesar 0,368; kemudian berturut-turut hingga tahun 2009 sebesar 0,367; lalu 0,378 (tahun 2010); 0,388 (tahun 2011); 0,413 (tahun 2012); 0,406 (tahun 2013), dan tahun 2014 sebesar 0,414.
Apakah data BPS (instansi di bawah Presiden) tersebut apa adanya? Data rasio gini BPS sepertinya “agak unik” di mana sepanjang tahun 2002 hingga 2014 trennya semakin timpang.
Namun, saat di tangan Presiden Jokowi berubah trennya menjadi semakin merata. Data rasio gini membentuk grafik berbentuk gunung dengan puncaknya pada 2014.
Padahal secara kualitatif, masyarakat merasa terus semakin sulit kehidupannya. BPS juga telah merilis hasil surveinya bahwa sebesar 9,48 juta kelas menengah turun kelas (BPS, Agustus 2024).
“Agak janggal” adalah kata yang terucap menanggapi kontradiksi data rasio gini BPS yang terus membaik dari tahun 2015 sampai tahun 2024, di saat yang sama BPS merilis terdapat 9,48 juta orang turun kelas.
Secara logis, apabila hampir 10 juta orang turun kelas, maka cukup signifikan menaikkan nilai rasio gini. Jumlah tersebut sebesar 3,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia (270,2 juta jiwa per tahun 2020).
Keunikan data BPS juga terjadi pada angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari tahun 2000 hingga 2005 terus meningkat (semakin banyak yang menganggur).
Pada tahun 2000 sebesar 6,08 persen, kemudian 8,1 persen; 9,06 persen; 9,67 persen; 9,86 persen; dan 11,24 persen pada 2005.
Kemudian pada masa Presiden SBY terus menurun secara bertahap (pengangguran semakin berkurang) dari tahun ke tahun hingga sebesar 5,94 persen pada 2014.
Namun, BPS menaikkan lagi di awal periode pertama Presiden Jokowi pada tahun 2015 sebesar 6,18 persen dan terus turun hingga tahun 2019 sebesar 5,23 persen (pada tahun terakhir periode pertama Presiden Jokowi). Sehingga mengesankan kesuksesan presiden Jokowi pada periode pertama.
Lalu pada awal periode kedua Presiden Jokowi, BPS menaikkan lagi TPT sebesar 7,07 persen pada 2020 dan terus turun secara bertahap hingga sebesar 4,91 persen pada 2024. Dengan tren tersebut, mungkin saja tahun 2025 akan naik lagi dan terus turun hingga tahun 2029.
Data dengan pola yang teratur naik setiap awal periode kepemimpinan dan terus menurun hingga akhir periode kepemimpinan, menimbulkan pertanyaan apakah data tersebut berintegritas?
Terlepas dari kejanggalan data, kita menjumpai riak-riak dan keluh kesah terus menerus menghujani lini masa.
Perubahan metode penjualan elpiji bersubsidi 3 Kg saja telah membuat banyak orang menjadi susah. Belum lagi kenaikan BBM juga sensitif menaikkan inflasi.
Kenaikan 1 persen tarif PPN (11 persen ke 12 persen) juga menakutkan bagi masyarakat hingga pemerintah memberikan stimulus fiskal hingga Rp 38 triliun. Kondisi kualitatif itu mengkonfirmasi bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja (potensial terjadi krisis).
Banyak orang yang mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan. Bahkan, membuka pekerjaan (berwirausaha) pun kesulitan permodalan.
Banyak yang mengeluhkan upah atau gaji yang diterima hanya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan pokok lainnya ala kadarnya. Banyak sarjana juga menganggur atau setengah menganggur. Itu data kualitatif berdasarkan testimoni banyak orang.
Diaspora dipicu krisis negara asal
Menurut The International Organization for Migration (IOM), organisasi PBB yang mengurusi soal migrasi penduduk antarnegara, diaspora terbesar berasal dari India (18,5 juta orang), diikuti China (11,7 juta orang), Meksiko (11,6 juta orang), Ukraina (9,8 juta orang) dan Rusia (9,1 juta orang).
Ukraina mengalami kenaikan diaspora setelah perang dengan Rusia, dari peringkat 10 ke peringkat 4 negara dengan diaspora terbanyak (Sumber: IOM).
Negara perang dan konflik seperti Ukraina mengalami kenaikan diaspora sangat signifikan dari tahun 2020 ke tahun 2025.
Ukraina naik 124 persen dari tahun 2020 ke tahun 2024, diikuti Venezuela (52,1 persen), dan Afganistan (31,4 persen). Ketiga negara tersebut adalah negara perang dan konflik berkepanjangan.
Sebelumnya negara perang seperti Syiria telah mengalami lonjakan diaspora paling tinggi dari tahun 2015 ke tahun 2020, yang menempatkan Syiria menjadi negara ke-5 diaspora terbesar dari posisi sebelumnya peringkat ke-8 (Sumber: International Migrant Stock).
Migrasi Tionghoa ke negara-negara ke Asia Tenggara khususnya Indonesia dan juga ke Amerika Serikat juga banyak terjadi pada masa krisis dan konflik di China.
Migrasi besar yang tercatat terjadi saat revolusi Tiongkok dengan bubarnya Kekaisaran menjadi Republik Tiongkok pada tahun 1911.
Dinasti Qing roboh berganti menjadi Republik Tiongkok. Republik Tiongkok pun akhirnya harus berpindah ke Taiwan dan Tiongkok daratan berubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Konflik dan perang terus terjadi dari pertengahan abad 19 hingga awal abad 20. Hal itu memicu migrasi besar-besaran bangsa Tionghoa ke berbagai negara khususnya Indonesia.
IOM mencatat terdapat 11,7 juta (hingga tahun 2024) orang Tionghoa yang berada di luar China. Sedangkan angka perkiraan terhadap seluruh keturunannya mencapai 60 juta orang.
Keturunan Diaspora Tionghoa terbesar ada di Indonesia (11,15 juta), kemudian disusul Thailand (9,39 juta), Malaysia (6,89 juta), Amerika Serikat (5,82 juta), Singapura (3,07 juta), Kanada (1,95 juta), Myanmar (1,72 juta), Filipina (1,35 juta), dan Korea Selatan (1 juta). 42,34 juta tersebar di sembilan negara tersebut. Sisanya sebesar 17,66 juta tersebar di ratusan negara lainnya (Sumber: Kompas.id)
Diaspora akan menghebatkan Indonesia
Kita mengambil satu contoh saja bangsa yang memiliki diaspora yang cukup berhasil di Indonesia, yaitu bangsa Tionghoa untuk menjadi pelajaran pentingnya tagar "kabur aja dulu".
Belajar dari diaspora bangsa Tionghoa ke seluruh dunia, khususnya Indonesia dan Amerika, kita akan menemukan situasi politik dalam negeri China menjadi pemicu migrasi yang membentuk diaspora Bangsa Tionghoa.
Akankah tagar "kabur aja dulu" menjadi titik tolak terbentuknya diaspora massal bangsa Indonesia yang membuat bangsa Indonesia lebih hebat. Seperti hal hebatnya bangsa China dengan dukungan diasporanya.
Hebatnya orang Tionghoa dan keturunannya di Indonesia diperoleh dengan kerja keras dan kerja cerdas. Sehingga, siapa saja yang benar-benar merealisasikan tagar "kabur aja dulu" juga harus kerja keras dan kerja cerdas supaya sukses di negeri orang.
Nilai positif seperti kejujuran, integritas, etos kerja, disiplin, semangat dan pantang menyerah, juga harus dibalut dengan keahlian atau keterampilan yang baik. Selain kemampuan berbahasa asing negara tujuan.
Namun, bagi kelas menengah yang turun kelas, mungkin saja nilai positif serta keahlian dan keterampilan sudah dimiliki sebelumnya. Hanya saja persoalan krisis sistemik dan struktural yang menjadikan kelas menengah turun kelas.
Oleh karenanya, tugas pemimpin baru, Presiden Prabowo Subianto, dan juga kita semua harus membenahi krisis sistemik dan struktural itu, apalagi jika pemerintah menolak tagar "kabur aja dulu".