



''Customer Centric'' Kunci Keberhasilan Netflix
SEBELUM sukses seperti sekarang ini, mengubah cara orang menikmati film dan acara televisi dan membentuk tren baru dalam industri hiburan, Netflix pernah ditertawakan.
Tahun 1999, Netflix mengalami kesulitan finansial dengan kondisi yang hampir bangkut. Reed Hastings dan Marc Rundolph, pendiri Netflix mencari cara agar bisa mempertahankan bisnisnya.
Pada tahun 2000, Hastings melobi mantan CEO Blockbuster, yang saat itu dipegang oleh John Anitioco. Namun dalam pertemuan itu, Antioco menolak dan menertawakan penawaran Hastings.
“Kami mengalami masalah yang serius. Langkah yang dilakukan adalah mencoba menjual Netflix kepada Blockbuster. Namun, dalam proses diskusi, kami mendapat respons yang cukup berbeda. Mereka (Blockbuster) menertawakan kami,” kenang Marc Rundolph.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2010, Blockbuster bangkrut. Sementara Netflix terus melenggang ke gelanggang hiburan menjadi salah satu layanan streaming terbesar di dunia.
Lalu, bagaimana cara Netflix bisa tumbuh cepat sekaligus bisa mempertahankan pelanggannya begitu lama?
Mereka fokus pada konsumen, customer centric; put the customer at the center of everything you do, to build great products, brands, and companies.
Gibson Biddle, eks VP Product Netflix, pada tahun 2005 pernah bertanya pada Reed Hastings, apa yang ia harapkan akan menjadi warisan terbesarnya.
Hasting menjawab, “consumer science.”
Hasting menjelaskan, “Leaders like Steve Jobs have a sense of style and what customers seek, but I don’t. We need consumer science to get there.”
Dengan sadar diri Hasting bilang, bahwa ia tidak seperti Steve Jobs yang bisa menemukan apa yang konsumen cari dan inginkan, dia tidak memiliki kemampuan itu. Oleh karena itu, ia perlu metodologi, sebuah "Ilmu tentang konsumen."
"Customer Centric"
Dari aspirasi Hasting dan Rundolph, Biddle sebagai VP Product kemudian merumuskan formulanya sendiri, yang dikenal sebagai customer centric.
Selama ini, banyak perusahaan yang membicarakan fokus terhadap konsumen. Namun, apakah itu “fokus kepada konsumen” sebenarnya?
Biddle kemudian membedakan antara customer focus dan customer centric. Customer focus memiliki pertanyaan sentral, "Bagaimana pendapat pelanggan tentang produk Anda?"
Dalam pertanyaan itu hanya ada dua pengandaian waktu, masa sekarang dan masa lalu (yakni ketika konsumen membeli produk dan setelah memakai produk).
Customer centric kemudian melengkapinya dengan satu pengandaian waktu, yakni masa depan; bagaimana caranya agar pelanggan senang selamanya?
Jika direcah, maka perbedaannya kurang lebih begini.
Customer focus:
- Mendengarkan apa yang dikatakan pelanggan
- Memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan saat ini
- Fokus pada kepuasan pelanggan
- Menyediakan produk yang lebih baik daripada kompetitor
- Menyeimbangkan kepuasan pelanggan dan margin.
Customer centric:
- Mempelajari apa yang diinginkan pelanggan dengan membuatnya mencoba satu hal baru di kemudian hari.
- Terus berinovasi menciptakan dan memenuhi kebutuhan yang tidak terduga dari pelanggan.
- Berinisiatif memberikan kebahagiaan pelanggan untuk jangka panjang.
- Berinovasi dengan produk baru yang sama sekali berbeda dari yang sudah ada sehingga meminimalkan persaingan.
- “Berinvestasi lebih” pada kebahagiaan pelanggan yang sulit ditiru sehingga margin akan mengikuti.
Framework customer-centric adalah pro aktif, tidak menunggu. Terus berinovasi. Terus mempelajari. Mencoba, mencoba, mencoba lagi sampai menemukan format yang sempurna. Fokusnya giving, bukan waiting.
Bagaimana cara Netflix menerapkan customer centric?
Menurut Biddle, prinsipnya adalah menempatkan pelanggan sebagai pusat dari segala sesuatu sehingga Anda mulai melihat produk dari sudut pandang mereka.
Dengan cara seperti ini, Anda akan menemukan apa yang menyenangkan bagi pelanggan, cara ini sangat unik, sehingga sulit ditiru. Dan tentu saja dengan sendirinya akan meningkatkan margin.
Secara teknis, tim Netflix akan membentuk hipotesis melalui data kuantitatif, kualitatif, dan survei, lalu menguji ide-ide tersebut secara A/B untuk melihat mana yang berhasil. Lebih rinci seperti dibawah ini:
Netflix menggunakan data kuantitatif yang ada untuk memahami perilaku pelanggan pada masa lalu dan saat ini dengan tujuan memberikan saran untuk masa depan, apa yang bisa membuat pelanggan lebih bahagia.
Netflix mengambil data kualitatif dari survei untuk mendengar feedback langsung pelanggan apa yang mereka harapkan pada layanan Netflix.
Netflix menyurvei siapa pelanggannya, berdasarkan demografi, penggunaan produk sejenis dari produk kompetitor, preferensi hiburan dan lain sebagainya.
Lalu dari data-data tersebut Netflix menguji hipotesis dengan cara mengetesnya pada pelanggan untuk melihat mana yang lebih disukai.
Jadi semua tampilan yang ada di web sudah melewati proses kurasi bertahun-tahun. Contohnya tombol jempol “suka” dan “tidak suka”, berawal dari rating bintang 5 (semakin banyak bintangnya film itu semakin anda suka)
Hipotesis awalnya adalah bahwa semakin banyak film berkualitas tinggi yang ditonton oleh pelanggan (diukur dengan rata-rata bintang yang tinggi), maka akan semakin baik retensinya.
Sayangnya ternyata secara data itu tidak terbukti, penilaian peringkat rata-rata yang lebih tinggi dari pelanggan tidak menyebabkan retensi yang lebih tinggi.
Netflix beralih ke "persentase kecocokan," bahwa meskipun Anda mungkin memberi rating hanya tiga bintang untuk film komedi Adam Sandler yang "tidak perlu dipikir serius", Anda tetap menikmati menontonnya.
Sebaliknya, sekalipun Anda memberi bintang lima pada film "Schindler's List" itu tidak menggambarkan bahwa Anda senang, karena film tersebut cenderung membuat sedih.
Contoh lain adalah tampilan web Netflix, pada tahun 2013, karena mereka memiliki keyakinan bahwa pesan dengan nilai yang kuat meningkatkan konversi, dan salah satu cara untuk menyampaikan nilai adalah dengan menempatkan banyak "konten" di halaman, maka tampilan web-nya begitu ramai, penuh dengan pesan.
Lalu pada 2015, tampilan non-member jadi lebih sederhana dan sekarang semakin sederhana. Butuh waktu 15 tahun bagi Netflix menemukan cara mengkomunikasikan value di tampilan web-nya.
Semuanya diawali dengan prinsip customer-centric, menempatkan konsumen diatas segalanya, semua teknologi dan konten diarahkan agar konsumen bahagia.
Hasilnya, pada tahun 2021 pelanggan Netflix melebihi 200 juta dan tahun 2024 telah melampaui 300 juta.
"See What's Next" adalah tagline Netflix yang sarat dengan pesan inovasi, optimisme dan masa depan. Pesan "See What's Next" sangat customer-centric.