![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Gula Nasional: Dari Ketergantungan Menuju Kedaulatan](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/14/kompas/gula-nasional-dari-ketergantungan-menuju-kedaulatan-1267825.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Gula Nasional: Dari Ketergantungan Menuju Kedaulatan
DI MEJA makan rakyat Indonesia, gula bukan sekadar pemanis, melainkan simbol ketahanan pangan yang terus diuji.
Setiap sendok gula yang larut dalam teh atau kopi adalah cerminan paradoks: negeri agraris dengan hamparan lahan luas, tetapi masih menggantungkan 60 persen kebutuhan gulanya pada impor.
Pada 2020, Indonesia mengimpor 4,4 juta ton gula mentah, ironi bagi negara yang pada era kolonial pernah menjadi salah satu pengekspor gula terbesar.
Jika Brasil mampu menjadi raja gula dunia dengan produktivitas 70 ton tebu per hektare, mengapa Indonesia yang tanahnya subur justru terperangkap dalam ketergantungan impor?
Mencapai swasembada gula bukan sekadar soal angka statistik, tetapi juga ujian martabat bangsa.
Jika pada abad ke-14 Majapahit mampu mengekspor gula hingga ke China (catatan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce), maka di era Society 5.0 ini, Indonesia tidak boleh terus menjadi penonton.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi dalam model triple helix, gula bisa menjadi fondasi bioekonomi baru, yang merupakan lompatan dari komoditas primitif menuju industri bernilai tambah tinggi.
Saatnya menulis ulang narasi: dari negeri pengimpor yang pasrah, menjadi raja gula dunia berdikari. Sebab, di balik manisnya gula, ada harga diri bangsa yang harus ditanam, dipanen, dan dipertahankan.
Akar masalah: Lahan menyusut, teknologi tertinggal
Masalah utama dalam industri gula nasional bukan hanya soal kurangnya upaya, tetapi lebih kepada sistem yang terfragmentasi dan tidak terkoordinasi dengan baik.
Selama tiga dekade terakhir, produksi gula nasional stagnan di kisaran 2,2-2,5 juta ton per tahun, jauh dari kebutuhan konsumsi yang terus meningkat hingga mencapai 5,6 juta ton pada tahun 2023.
Ketimpangan ini semakin parah dengan terus menyusutnya lahan tebu di Jawa, yang selama ini menyumbang sekitar 60 persen dari total produksi nasional.
Alih fungsi lahan menjadi kawasan industri dan perumahan telah mengurangi luas perkebunan tebu secara signifikan, sementara upaya ekspansi ke luar Jawa masih menghadapi banyak kendala, termasuk infrastruktur yang kurang memadai dan rendahnya efisiensi produksi di daerah baru.
Di sisi lain, keterbatasan teknologi menjadi faktor utama rendahnya produktivitas gula nasional.
Sebagian besar pabrik gula di Indonesia masih menggunakan mesin-mesin peninggalan era kolonial Belanda, dengan tingkat rendemen hanya sekitar 7 persen.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen gula utama seperti Brasil, yang mampu mencapai rendemen hingga 14 persen berkat penerapan teknologi modern dan sistem pengelolaan yang lebih efisien.
Kurangnya investasi dalam modernisasi pabrik dan peralatan menyebabkan industri gula Indonesia tertinggal dari pesaing globalnya, memperparah ketergantungan terhadap impor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Ironisnya, berbagai kebijakan proteksi yang diterapkan pemerintah justru sering kali menjadi bumerang.
Tarif impor dan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang bertujuan melindungi industri dalam negeri malah menghambat inovasi.
Petani tebu kehilangan insentif untuk meningkatkan produktivitas, sementara pabrik gula berlindung di balik subsidi tanpa terdorong untuk melakukan modernisasi.
Tanpa reformasi sistemik yang mencakup efisiensi produksi, insentif inovasi, dan perbaikan tata kelola industri, ketergantungan Indonesia pada impor gula akan terus meningkat, mengancam ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani tebu dalam jangka panjang.
Belajar dari Brasil
Brasil tidak hanya memanfaatkan tebu sebagai sumber gula, tetapi juga sebagai bahan baku bioetanol yang menyumbang 18 persen dari kebutuhan energi nasional.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari integrasi kebijakan yang kuat. Pemerintah Brasil membuka investasi swasta dalam riset bibit unggul, memberikan insentif bagi pengembangan lahan di luar wilayah tradisional, serta mewajibkan industri otomotif untuk memproduksi kendaraan berbahan bakar fleksibel.
Langkah-langkah ini menciptakan ekosistem yang mendukung ketahanan energi sekaligus memperkuat daya saing industri gula dan bioetanol Brasil di pasar global.
Sebagai hasil dari kebijakan strategis tersebut, Brasil kini menguasai 70 persen pasar gula global dengan nilai ekspor mencapai 11 miliar dollar AS pada 2022.
Dengan mengoptimalkan pemanfaatan tebu, Brasil mampu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, meningkatkan kesejahteraan petani, dan memperkuat posisi negara dalam perdagangan internasional.
Di Indonesia, program serupa masih menghadapi berbagai tantangan. Revitalisasi 10 pabrik gula oleh BUMN yang dicanangkan pemerintah belum menunjukkan perkembangan signifikan, dengan hanya empat pabrik yang berhasil direalisasikan dalam lima tahun terakhir.
Lambatnya implementasi program ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kendala investasi, infrastruktur, serta regulasi yang belum sepenuhnya mendukung transformasi industri gula dan bioetanol.
Langkah revolusioner menuju swasembada
Ekspansi lahan tebu ke luar Pulau Jawa menjadi langkah strategis dalam upaya mencapai swasembada gula nasional.
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi memiliki potensi besar untuk pengembangan industri gula, mengingat ketersediaan lahan yang luas dan kondisi agroklimat yang mendukung.
Untuk mendorong investasi di wilayah ini, pemerintah dapat mengadopsi konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gula dengan memberikan insentif pajak selama sepuluh tahun serta membangun infrastruktur pendukung seperti jalan, irigasi, dan fasilitas logistik.
Skema bagi hasil antara petani dan investor juga bisa diterapkan guna memastikan distribusi keuntungan yang adil dan meningkatkan kesejahteraan petani tebu.
Selain perluasan lahan, peningkatan produktivitas tebu harus menjadi prioritas utama. Teknologi presisi dalam budidaya tebu dapat membantu meningkatkan efisiensi dan hasil panen.
Penggunaan drone untuk memantau kesehatan tanaman, sensor Internet of Things (IoT) untuk mengoptimalkan irigasi, serta platform digital yang menghubungkan petani dengan pabrik dapat menjadi solusi inovatif.
India, misalnya, telah menerapkan aplikasi TebuLink, yang memfasilitasi komunikasi antara petani dan pabrik gula, sehingga mempercepat distribusi hasil panen dan meningkatkan transparansi harga.
Transformasi industri gula tidak boleh berhenti pada peningkatan produksi saja, tetapi harus bergerak menuju konsep bioekonomi.
Limbah tebu seperti bagasse dapat diolah menjadi bioplastik dan bioetanol, yang berpotensi meningkatkan nilai tambah industri hingga 300 persen.
Selain itu, molase yang selama ini hanya digunakan sebagai bahan pakan ternak dapat dikembangkan menjadi produk bernilai tinggi seperti biofuel dan produk farmasi.
Untuk mendorong investasi dalam industri gula berbasis bioekonomi, pemerintah perlu menarik keterlibatan sektor swasta dengan skema Build-Operate-Transfer (BOT).
Model ini memungkinkan investor asing berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur industri tanpa mengorbankan kedaulatan nasional.
Namun, investasi dan inovasi saja tidak cukup tanpa dukungan kebijakan yang konsisten dan terkoordinasi.
Di sisi lain, keberhasilan reformasi industri gula juga bergantung pada kesiapan sumber daya manusia.
Pendidikan dan pelatihan bagi petani serta tenaga kerja di industri gula harus ditingkatkan melalui kerja sama dengan universitas, lembaga riset, dan industri.
Selain itu, kebijakan insentif bagi generasi muda untuk terlibat dalam industri gula perlu dikembangkan guna mengatasi masalah regenerasi petani tebu yang semakin berkurang.
Tag: #gula #nasional #dari #ketergantungan #menuju #kedaulatan