Rasionalitas Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen di Tengah Efisiensi Anggaran
Ilustrasi aktivitas peti kemas di pelabuhan.(DOK. Pelindo)
13:24
13 Februari 2025

Rasionalitas Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen di Tengah Efisiensi Anggaran

PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto mengawali tahun dengan kebijakan yang mengejutkan: pemangkasan APBN sebesar Rp 306,69 triliun atau sekitar 8,4 persen dari total belanja negara.

Kebijakan ini dikemas dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang menitikberatkan pada efisiensi belanja negara dengan mengurangi pengeluaran birokrasi yang dianggap tidak esensial, seperti perjalanan dinas, honorarium, hingga program-program seremonial.

Langkah ini seolah menjadi pedang bermata dua: di satu sisi, pemangkasan ini bisa memperkuat stabilitas fiskal, tetapi di sisi lain, bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi yang masih tertatih pasca-pandemi.

Ambisi pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen kini dipertanyakan. Secara historis, Indonesia dalam dua dekade terakhir hanya mampu mempertahankan pertumbuhan rata-rata 5 persen per tahun.

Target 8 persen tampak semakin sulit ketika pilar-pilar pertumbuhan, seperti belanja pemerintah dan konsumsi domestik, justru ditekan.

Apakah kebijakan pemangkasan APBN ini langkah strategis yang akan mempercepat transformasi ekonomi, atau justru akan menjadi penghambat pertumbuhan dan memperburuk ketimpangan?

Antara efisiensi dan kontraksi ekonomi

Belanja pemerintah selama ini menjadi salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global yang masih menghantui.

Dalam teori Keynesian, belanja pemerintah yang tinggi dapat menjadi stimulus bagi perekonomian, terutama dalam periode pemulihan.

Ketika sektor swasta masih menghadapi berbagai tantangan, intervensi pemerintah melalui pengeluaran fiskal berperan penting dalam menjaga daya beli masyarakat dan mendorong aktivitas ekonomi.

Pemangkasan belanja secara drastis tanpa strategi mitigasi yang tepat dapat berakibat pada perlambatan pembangunan infrastruktur, menurunnya permintaan agregat, dan meningkatnya ketidakpastian investasi.

Jika tidak dikelola dengan hati-hati, maka kebijakan ini bisa menciptakan kontraksi ekonomi yang justru menghambat pencapaian target pertumbuhan yang telah dicanangkan.

Dampak lain yang perlu diperhitungkan adalah potensi meningkatnya angka pengangguran. Banyak sektor yang bergantung pada belanja pemerintah, seperti konstruksi, jasa birokrasi, hingga sektor informal yang mendukung administrasi publik, berisiko mengalami perlambatan atau bahkan stagnasi akibat pemotongan anggaran.

Berkurangnya proyek-proyek infrastruktur tidak hanya menghambat perkembangan ekonomi jangka panjang, tetapi juga menghilangkan kesempatan kerja bagi jutaan tenaga kerja di berbagai sektor.

Tanpa strategi konkret untuk menyeimbangkan pemotongan anggaran dengan dorongan investasi swasta, ekonomi bisa mengalami perlambatan signifikan. Pada akhirnya menekan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan memperlemah daya saing nasional.

Ironisnya, pemangkasan belanja ini dilakukan ketika pemerintah justru tengah mengampanyekan kebijakan besar lainnya yang membutuhkan alokasi dana besar, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan swasembada pangan.

Ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran dapat menciptakan dilema kebijakan, di mana pemerintah berusaha memenuhi ambisi pembangunan sosial, tetapi harus berhadapan dengan keterbatasan fiskal.

Jika tidak ada langkah jelas untuk mengatasi ketimpangan ini, baik melalui optimalisasi penerimaan negara maupun efisiensi pengeluaran, maka program-program tersebut berisiko tidak berjalan secara optimal.

Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus dirancang dengan lebih hati-hati agar tetap mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas keuangan negara.

Salah satu justifikasi utama pemangkasan anggaran ini adalah menekan defisit APBN dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.

Hingga 2024, rasio utang pemerintah terhadap PDB berada di kisaran 40 persen, masih dalam batas aman, tetapi trennya terus meningkat.

Jika defisit dibiarkan melebar tanpa pengendalian, stabilitas ekonomi bisa terganggu dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai langkah untuk memperkuat disiplin fiskal dan menghindari ketergantungan berlebihan pada pinjaman asing.

Namun, efisiensi anggaran yang tidak diikuti dengan strategi investasi yang matang justru bisa menghambat pembangunan infrastruktur dan inovasi teknologi.

Pemotongan belanja yang berlebihan di sektor produktif dapat memperlambat proyek-proyek strategis nasional, seperti hilirisasi industri dan transformasi digital yang seharusnya menjadi lokomotif pertumbuhan jangka panjang.

Lebih dari sekadar mengurangi utang, tantangan utama adalah bagaimana memastikan alokasi anggaran yang tersisa benar-benar diarahkan ke sektor yang memberikan multiplier effect tinggi terhadap ekonomi.

Selain itu, jika pemangkasan ini dilakukan tanpa reformasi yang lebih luas dalam sistem perpajakan dan kebijakan fiskal, dampaknya bisa terbatas.

Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran ini diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara dari pajak dan investasi sektor swasta, bukan hanya sekadar mengurangi pengeluaran tanpa strategi yang jelas.

Jalan tengah

Kunci utama agar pemangkasan APBN tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi adalah dengan memastikan bahwa penghematan ini bersifat selektif, bukan sekadar pemotongan serampangan.

Pemerintah harus dapat membedakan antara belanja yang benar-benar tidak produktif dan belanja yang sebenarnya memberikan dampak positif bagi ekonomi dalam jangka panjang.

Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah mengalihkan anggaran dari sektor birokrasi yang berlebihan ke sektor-sektor yang lebih produktif, seperti investasi dalam infrastruktur digital, industri manufaktur, dan pengembangan energi hijau.

Dengan cara ini, pemangkasan anggaran bisa tetap memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi, bukan justru menghambatnya.

Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.

Ketika anggaran dipotong secara drastis, banyak perusahaan yang bergantung pada kontrak pemerintah akan terdampak, sehingga bisa terjadi penurunan investasi swasta.

Oleh karena itu, dialog antara pemerintah dan pelaku usaha harus diperkuat agar pemotongan ini tidak menimbulkan efek domino berbahaya bagi ekosistem ekonomi secara keseluruhan.

Pemangkasan APBN adalah langkah berisiko tinggi yang membutuhkan strategi implementasi yang sangat hati-hati.

Jika dilakukan dengan tepat, kebijakan ini bisa menjadi momentum untuk menciptakan disiplin fiskal dan meningkatkan efisiensi belanja negara.

Namun, jika diterapkan tanpa arah yang jelas, dampaknya bisa berbalik menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi, memperlambat investasi, dan menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.

Dengan kondisi saat ini, mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen tampaknya masih jauh dari realistis, terutama jika tidak ada strategi jelas untuk menggantikan peran belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan.

Pemerintah harus mengimbangi kebijakan ini dengan reformasi ekonomi yang lebih luas, seperti insentif bagi sektor swasta, penguatan daya beli masyarakat, serta investasi dalam inovasi dan teknologi.

Tanpa langkah-langkah tersebut, pemangkasan anggaran ini bisa menjadi pedang bermata dua yang justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, bukannya mempercepatnya.

Tag:  #rasionalitas #pertumbuhan #ekonomi #persen #tengah #efisiensi #anggaran

KOMENTAR