Analis Sebut Kenaikan Polusi Udara dan Peningkatan Penyakit Bisa Naik 30 Persen Hingga 2030 jika Standar BBM Tidak Diganti dengan yang Rendah Sulfur
Ilustrasi: Tangki BBM sepeda motor. (Wahana Honda).
13:27
12 Februari 2025

Analis Sebut Kenaikan Polusi Udara dan Peningkatan Penyakit Bisa Naik 30 Persen Hingga 2030 jika Standar BBM Tidak Diganti dengan yang Rendah Sulfur

 

Pembakaran BBM di sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara perkotaan. Analis Senior Institute of Essential Services Reform (IESR) Julius Christian mengatakan, sebanyak 47 persen polusi udara disumbangkan oleh transportasi jalan raya.

Menurutnya, sumber polusi udara transportasi bukan hanya dari debu yang ditimbulkan asap pembakaran, namun juga dari bahan bakar itu sendiri, aus pengereman dan aktivitas-aktivitas lain.

“Di negara lain kebanyakan polusi disebabkan karena ban yang aus. Sebab, mereka sudah menggunakan mesin kendaraan yang teknologinya lebih advance sehingga polusi bukan berasal dari bahan bakar,” ucap Julius dalam media workshop bertema Perbaikan Tata Kelola BBM untuk Mengatasi Persoalan Polusi Udara, Kesehatan dan Ekonomi yang digelar Katadata Green dan Indonesian Data Journalism Network (IDJN), Selasa (11/2) di Jakarta, melalui keterangan tertulis yang diterima.

 

Saat ini, Indonesia masih berupaya meningkatkan standar emisi Euro-4. Padahal, negara lain bahkan sudah banyak yang menerapkan standar Euro-6. Standar Euro-4 sendiri mensyaratkan emisi 50 ppm. Sementara, Indonesia masih banyak menggunakan BBM bersubsidi dengan emisi mencapai 500 ppm atau lebih.

Berdasarkan data Kementian ESDM pada 2024, Pertalite 90 subdisi yang digunakan sekitar 45 persen konsumsi BBM di Indonesia pada 2023 mengeluarkan baku mutu 500 ppm. Pertamax 92, juga belum mampu memenuhi standar Euro-4 karena masih mengeluarkan 400 ppm. Biosolar 48 subsidi dengan porsi konsumsi 26 persen konsumsi BBm pada 2023 mengeluarkan 2.500 ppm.

“Baru Pertamax Green dan Pertamax Turbo yang sudah mencapai standar emisi 50 ppm, Euro-4,” kata dia.

 

Menurut Julius, penggunaan BBM Euro-4 bisa menekan beban polusi udara Jabodetabek secara signifikan karena bisa menurunkan hampir 90 persen polutan. BBM bersih juga bisa menurukan 79 persen penyakit yang ditimbulkan akibat polusi udara. Ia melanjutkan, jika tidak melakukan perubahan alias terus menggunakan BBM yang ada seperti sekarang, akan terjadi kenaikan polusi udara dan peningkatan penyakit sampai 30 persen hingga tahun 2030.

Namun, diakuinya bukan hal mudah untuk mengganti BBM yang ada dengan BBM Euro-4 yang lebih rendah sulfur. Sebab, untuk mempertahankan harga jual BBM dengan kualitas yang lebih baik, dibutuhkan subdisi hingga Rp 40 triliun sampai 2028. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas BBM membutuhkan invetasi yang cukup besar terhadap kilang-kilang Pertamina yang akan memproduksi BBM-nya.

“Yang membuat susah karena sekarang pemerintah sedang banyak melakukan efisiensi anggaran. Padahal kalau anggaran untuk meningkatkan kualitas BBM ini digunakan, juga bisa mengurangi dampak akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan,” kata dia.

 

Saat ini, yang bisa memproduksi BBM dengan standar Euro-4 baru kilang di Balikpapan. Kilang Balongan yang memproduksi BBM dengan emisi 10 ppm kapasitasnya masih sedikit.

Tantangan lain, kata Julius, saat ini belum terlihat lagi political will yang mendorong peningkatan kualitas BBM. “Setelah kementerian Marves (Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi-red), belum ada lagi yang membahas,” kata dia.

Menurut Julius, lantaran saat ini Indonesia masih mengimpor BBM, Indonesia bisa mengambil peluang dalam jangka pendek. Alih-alih mengimpor BBM yang belum memenuhi standar Euro-4, sebaiknya Indonesia mengimpor BBM dengan kualitas lebih baik. Julius mengatakan, harga pasar harga BBM Euro-4 dan Euro-2 tidak berbeda jauh. Hanya selisih Rp 200.

 

“Lebih baik menambah sedikit biaya tapi kita bisa melakukan impor dengan kualitas yang lebih bagus,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan, masalah utama polusi di Indonesia adalah belum tersedianya BBM bersih. Hal ini juga mengganggu adopsi kendaraan ramah lingkungan.

Dia mengatakan adopsi Euro-4 tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sebab, selain berdampak terhadap polusi udara juga berdampak pada daya saing Indonesia. Penanganan masalah emisi ini pun sudah menjadi hambatan perdagangan.

Dia mengatakan hal penting untuk mendorong adopsi BBM bersih adalah pemerintah yang perlu merekonstruksi harga BBM. Di Indonesia, harga pokok penjualan BBM lebih mahal meski kualitasnya lebih buruk dibandingkan negara-negara lain. Dia mencontohkan, Australia dan Malaysia bisa memiliki HPP BBM yang lebih rendah namun kualitas yang lebih baik.

“Pemerintah harus transparan dalam penerapan HPP,” ucap dia.

 

Editor: Banu Adikara

Tag:  #analis #sebut #kenaikan #polusi #udara #peningkatan #penyakit #bisa #naik #persen #hingga #2030 #jika #standar #tidak #diganti #dengan #yang #rendah #sulfur

KOMENTAR