Ironi Kemenkeu yang Konon Berintegritas
Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata (tengah) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (7/2/2025). Isa Rachmatarwata yang merupakan mantan Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) ditahan penyidik Kejagung usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). (ANTARA FOTO/
09:24
11 Februari 2025

Ironi Kemenkeu yang Konon Berintegritas

BARU pertama dalam sejarah, presiden mengunjungi Gedung Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta.

Selama ini, presiden hanya terhenti di Gedung DJP di Jalan Gatot Subroto, untuk menunjukkan kepatuhan menyampaikan SPT tahunan.

Namun kali ini, Presiden Prabowo Subianto langsung mengunjungi Gedung Kemenkeu di Lapangan Banteng untuk memantau peluang melakukan efisiensi anggaran.

Saat khalayak ramai membicarakan efisiensi anggaran (dibaca: pemangkasan) sebesar Rp 306 triliun, muncul kabar media bahwa Dirjen Anggaran, Isa Rachmatarwata, dijadikan tersangka pidana korupsi oleh Kejaksaan Agung.

Kasusnya terjadi belasan tahun lalu, saat tersangka menjadi pejabat eselon II di BAPEPAM-LK yang saat ini berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Saat bersamaan, Kemenkeu juga sedang menghadapi kekisruhan Coretax DJP, aplikasi perpajakan baru yang konon dibangun dengan biaya sangat mahal Rp 1,2 triliun, yang hingga saat ini belum beroperasi secara baik dan menyulitkan wajib pajak.

Jejak kasus korupsi di Kemenkeu

Kasus korupsi mendera Kemenkeu bukan hal baru. Jika kita merunut sejak reformasi Kemenkeu pada 2007, puluhan kasus terjadi yang mayoritas di DJP dan DJBC.

Mulai dari kasus Gayus Tambunan, Angin Prayitno, Dhana Widyatmika, Bahasyim Assifie, Handang Soekarno, Pargono Riyadi, dan lain-lain, hingga terakhir kasus Rafael Alun Trisambodo yang semuanya berkaitan dengan suap dan gratifikasi di DJP.

Sedangkan di DJBC, beberapa kasus mengemuka seperti kasus suap impor tekstil, kasus suap pengadaan kapal patroli, kasus suap impor gula, dan sejumlah kasus gratifikasi.

Tidak hanya di DJP dan DJBC, kasus suap dan gratifikasi terjadi juga di DJKN terkait lelang dan pemanfaatan aset seperti kasus Husbi Waris dan kasus pemalsuan dokumen aset jaminan BLBI. Semua kasus tersebut menjadi sorotan publik dan telah berkekuatan hukum tetap.

Sepanjang 20 tahun terakhir, "hanya" belasan kasus korupsi yang mendera Kemenkeu, di mana kasus terkonsentrasi di tiga Direktorat Jenderal, yaitu pajak (DJP), bea cukai (DJBC), dan kekayaan negara (DJKN).

Data ini mengindikasikan Kemenkeu masih relatif baik memberi harapan reformasi birokrasi berjalan di Indonesia.

Namun, kasus-kasus yang menjadi sorotan publik di tiga Ditjen tersebut bisa jadi adalah puncak gunung es. Bisa saja masih banyak praktik yang harus dibongkar di bawah gunung es itu.

Kita sering mendengar celoteh dari wajib pajak, pengusaha ekspor-impor, dan para pemenang lelang aset negara termasuk aset BUMN, yang berceloteh bahwa mereka memberi sesuatu ke petugas.

Meskipun celoteh itu bisa saja hanya fitnah atau mungkin juga benar, tapi sulit dibuktikan.

Isu kasus Rp 300 triliun pun, temuan PPATK yang diramaikan oleh Menko Polhukam era Mahfud MD, hingga saat ini publik tidak mengetahui rimbanya.

Apakah di dalam rimba menemukan telaga keadilan atau menguap menjadi awan kelabu?

Sekurang-kurangnya isu Rp300 triliun terkait pajak dan bea cukai menjadi early warning bagi Menkeu untuk lebih fokus membenahi birokrasinya.

Integritas

Seluruh upaya reformasi birokrasi Kemenkeu, mungkin hanya di atas kertas dan formalitas belaka. Hal yang sama diterapkan di banyak kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dengan panduan dan supervisi dari Kementerian PANRB.

Bentuk praktis reformasi birokrasi seperti WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani).

Hanya saja, hal yang menjadi pembeda Kemenkeu dibandingkan K/L lainnya dan Pemda adalah SDM Kemenkeu sebagai bahan pokoknya.

Mayoritas SDM Kemenkeu bermoral baik saat ini, menjadi faktor utama keberhasilan reformasi birokrasi Kemenkeu.

Keberhasilan reformasi birokrasi Kemenkeu bukan hanya didukung oleh keandalan sistemnya saja, tapi juga karena SDM yang bermoral sejak sebelum diterima menjadi pegawai.

PKN STAN atau dahulu disebut STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) menjadi produsen pegawai Kemenkeu yang berintegritas, meskipun masuk dengan pangkat rendah (golongan II).

Hal itu harus diakui oleh Menkeu Sri Mulyani yang menggembor-gemborkan dan mengunggulkan penerimaan sarjana/magister.

Kejahatan terjadi karena perpaduan antara niat dan kesempatan. Jika integritas bawaan pegawai adalah faktor niat yang mengurungkan terjadinya kejahatan, maka reformasi birokrasi adalah faktor menurunkan kesempatan terjadinya kejahatan.

Seluruh instrumen formal reformasi birokrasi telah dilakukan oleh Kemenkeu pada delapan area reformasi birokrasi.

Kemenkeu telah melakukan penataan organisasi kelembagaan dan perangkat hukum, serta menyusun proses bisnis berbasis teknologi informasi.

Kemenkeu juga telah melakukan pembenahan sistem manajemen SDM aparatur seperti penetapan target kinerja, pengukuran kinerja, pengujian kompetensi, pengembangan kompetensi, dan internalisasi kode etik dan budaya kerja, serta sistem pengawasan SDM dengan menggunakan teknologi informasi.

Dari segi pengawasan dan pengendalian, Kemenkeu juga telah menyusun organisasi pengawasan dan pengendalian yang terstruktur; melakukan pengendalian gratifikasi dengan pembentukan unit pengendalian gratifikasi (UPG) yang secara berkala menginternalisasi pemahaman mengenai gratifikasi kepada semua pegawai serta menjadi media bagi pegawai yang hendak melaporkan gratifikasi yang diterimanya; membentuk unit kepatuhan internal yang melakukan pemantauan; dan membuka sarana pengaduan masyarakat dan proses bisnis tindak lanjut atas pengaduan.

Dari segi pelayanan publik, Kemenkeu juga telah menyusun proses bisnis layanan yang mengedepankan kepuasan pengguna layanan, informatif, dan transparan.

Saat instrumen reformasi birokrasi tidak efektif dan terkesan di atas kertas belaka, maka Menkeu harus fokus pada LHKASN/LHKPN.

Saat menjadi Tim Ahli Menteri PANRB Tahun 2014, saya mengusulkan agar Menteri PANRB mewajibkan seluruh ASN melaporkan harta kekayaan dalam bentuk LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara).

Usulan tersebut diterima Menteri PANRB saat itu, Yuddy Chrisnandi, yang membuat Surat Edaran kepada semua menteri/pimpinan lembaga untuk mewajibkan ASN yang tidak wajib LHKPN (karena bukan penyelenggara negara), diwajibkan menyampaikan LHKASN.

Tugas menteri/pimpinan lembaga beserta APIP pada K/L adalah melakukan verifikasi, eksaminasi, dan review LHKASN serta menggunakannya untuk pembinaan ASN termasuk pertimbangan menduduki jabatan.

Sedangkan LHKPN dikelola oleh KPK dan publik dapat mengaksesnya secara terbuka. Jika kita mencari nama-nama PNS Kemenkeu di suatu kantor, khususnya kantor-kantor di DJP dan DJBC, pada laman LHKPN yang dikelola oleh KPK pada elhkpn.kpk.go.id, kemudian mengurutkannya dari nilai terbesar dan terkecil (short-filter), terdapat pegawai yang profil jabatannya lebih rendah, tapi berharta lebih besar daripada pegawai dengan profil jabatan lebih tinggi.

Itu suatu hal yang kata orang Jawa “cetho welo-welo”, bisa dilihat oleh publik, jika publik melakukan penelitian mendalam pada LHKPN.

Lantas, bagaimana atau sejauh mana Inspektorat Jenderal Kemenkeu bekerja melakukan verifikasi, mengeksaminasi, dan review LHPKN pegawai Kemenkeu?

Mengapa pejabat Kemenkeu berharta banyak yang tidak sesuai profil gaji dan tunjangan, malah diberikan kenaikan jabatan?

Bagaimana pembina kepegawaian Kemenkeu (dalam hal ini adalah Menkeu) menghubungkan kewajaran LHKPN dengan pembinaan kepegawaian seperti promosi, mutasi, dan demosi?

Pengujian kewajaran harta kekayaan PNS Kemenkeu yang disajikan pada LHKASN/LHKPN harus diverifikasi, dieksaminasi, dan direview secara ketat.

Apabila nilai harta tidak sesuai dengan profil gaji dan tunjangan sepanjang menjadi PNS, maka PNS dimaksud harus membuktikan bahwa hartanya diperoleh dari sumber penghasilan yang sah.

Meskipun PNS tersebut membuktikan dari sumber penghasilan yang sah, seharusnya tetap dicatat sebagai “persoalan konduite perolehan harta”.

PNS yang memiliki “persoalan konduite perolehan harta” seharusnya tidak layak untuk menduduki jabatan lebih tinggi, karena terindikasi melakukan usaha bebas di luar pekerjaan utamanya sebagai PNS, sehingga patut diduga mengabaikan pekerjaan utama serta berpotensi terjadi benturan kepentingan (conflict of interest).

Selain itu, “persoalan konduite perolehan harta” juga mengindikasikan PNS melakukan rangkap jabatan. Bisa jadi jabatan kedua, ketiga, dan seterusnya berpenghasilan jauh lebih besar daripada jabatan organiknya.

Persoalan rangkap jabatan ini menjadi dilema etika yang selalu diperdebatkan antara pro dan kontra. Padahal, rangkap jabatan yang dilakukan pada jabatan yang berbenturan kepentingan, berpotensi terjadinya mal-administrasi, inefisiensi, dan bahkan korupsi.

Dalam hal rangkap jabatan, Menkeu Sri Mulyani juga tidak konsisten. Dahulu ia melarang pejabat Kemenkeu merangkap jabatan, termasuk jabatan di BUMN seperti komisaris dan komite.

Namun, kenyataan saat ini sudah jamak para pejabat Kemenkeu level eselon II ke atas, khususnya pejabat di kantor pusat merangkap menjadi komisaris maupun komite BUMN, bahkan anak perusahaan BUMN.

Publik bisa mencari tahu hal itu dengan menggunakan mesin pencarian google nama-nama pejabat Kemenkeu dan merangkap sebagai apa dan di mana saja.

Selain itu, rangkap jabatan pejabat Kemenkeu juga dilakukan di sekitar 260 Badan Layanan Umum (BLU) dengan dalil bahwa Kemenkeu melakukan pembinaan pengelolaan keuangan BLU.

Pejabat yang merangkap menjadi Dewan Pengawas BLU tidak hanya pejabat pusat, tapi juga pejabat kantor vertikal di daerah hingga level eselon III, bahkan pensiunan Kemenkeu.

Mutasi besar-besaran

Pada tahap awal bersih-bersih, Menkeu harus melakukan mutasi besar-besaran. Jika anggaran perjalanan dinas pindah tidak cukup tersedia karena “kebijakan efisiensi anggaran”, maka mutasi dapat dilakukan dalam satu regional atau satu provinsi.

Namun, mutasi dilakukan antarorganisasi eselon I. Hal itu untuk memutus mata rantai korupsi dan fraud yang mungkin terjadi.

Pejabat/pegawai pengganti akan mengetahui apa yang dilakukan pejabat/pegawai lama dan mengungkap apa yang disembunyikan.

Selain itu memutus “clique” antarpegawai maupun antara pegawai dengan entitas di luar Kemenkeu yang berakibat fraud ataupun korupsi.

Menkeu Sri Mulyani telah menginisiasi mutasi antarorganisasi eselon I (disebut mutasi cross function disingkat CF) sejak beberapa tahun lalu.

Namun, sepertinya masih ragu-ragu untuk menambah porsi mutasi CF. Hanya sedikit pegawai yang diikutkan dalam mutasi CF, serta belum terbuka dalam melakukan assessment untuk mutasi CF.

Selain itu, Menkeu dan pejabat berwenang di bidang kepegawaian juga terkesan enggan mempercepat mutasi, di mana banyak ditemukan pejabat yang tidak dimutasi pada satu jabatan/tempat lebih dari dua tahun, bahkan menjelang lima tahun.

Seperti diketahui umum bahwa ketentuan pembinaan ASN mengatur bahwa selama-lamanya dalam satu jabatan adalah lima tahun.

Tag:  #ironi #kemenkeu #yang #konon #berintegritas

KOMENTAR