Langkah Antisipasi Proteksionisme Perdagangan Amerika
Presiden Amerika Serikat Donald Trump sesaat sebelum menandatangani Laken Riley Act di Ruang Timur Gedung Putih, Washington DC, Rabu (29/1/2025).(AFP/ROBERTO SCHMIDT)
07:04
10 Februari 2025

Langkah Antisipasi Proteksionisme Perdagangan Amerika

DENGAN dilantiknya Donald Trump, Amerika Serikat akan memasuki era kebijakan baru yang lebih konservatif terhadap neraca perdagangannya.

Gedung Putih mengumumkan pengenaan tarif tinggi pada impor dari Meksiko, Kanada, dan China. Kanada dan Meksiko dikenai bea masuk impor hingga 25 persen. 

China mendapat tarif tambahan 10 persen dari tarif yang sudah diterapkan sebelumnya. Artinya, tarif untuk barang-barang impor dari China kini mencapai 60 persen. (Kompas.id, 9/2/2025).

Berdasarkan data World Trade Centre (WTO) tahun 2024, Amerika merupakan salah satu negara importir terbesar perdagangan global dengan pangsa mencapai 15,9 persen dari total impor dunia sehingga termasuk ke dalam kelompok negara nett importir.

Di sisi lain, China merupakan negara eksportir terbesar dunia dengan porsi mencapai 17,5 persen ekspor global.

Perbedaan karakteristik perdagangan kedua negara tersebut akan memberikan dampak “sebab-akibat” apabila salah satunya menerapkan kebijakan yang “radikal”.

Misalnya, kebijakan proteksionisme perdagangan yang akan memicu “new trade war” sehingga menurunkan volume perdagangan global.

Terjadinya perang dagang akan berdampak langsung terhadap penurunan aktivitas perdagangan internasional.

Hal ini akan membawa konsekuensi terjadinya penyesuaian volume pembelian bahan baku di seluruh dunia, termasuk produk unggulan ekspor dari Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, salah satu mitra dagang utama Indonesia adalah China dengan pangsa ekspor mencapai 26,40 persen pada Desember 2024.

Oleh karena itu, kebijakan perdagangan Amerika yang bersifat inward looking akan membawa konsekuensi terhadap penurunan pangsa pasar produk dari China.

Kondisi ini perlu dicermati oleh pemerintah karena berpotensi memberikan dampak rambatan terhadap ekonomi nasional melalui jalur perdagangan.

Di sisi lain, Amerika saat ini masih mempunyai masalah inflasi tinggi. Mengutip siaran pers Rapat Dewan Gubernur bulan Januari 2025, saat ini inflasi di Amerika masih persisten sehingga ekspektasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) lebih terbatas dan memicu higher for longer.

Tingginya yield US Treasury sebagai dampak ekspansi fiskal akan menambah tekanan terhadap nilai tukar mata uang negara emerging market karena investor global akan memindahkan portfolionya ke Amerika dengan imbal hasil yang menarik.

Terjadinya perang dagang dikombinasikan tingginya FFR akan meningkatkan risiko tekanan nilai tukar yang lebih dalam, sehingga perlu untuk terus diwaspadai.

Keputusan pemerintah Indonesia bergabung dengan kelompok negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menjadi relevan untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Keputusan politik luar negeri yang sangat fundamental tersebut, dapat dioptimalkan untuk memperkuat kerja sama perdagangan sehingga kinerja ekspor nasional tetap kuat di tengah ketidakstabilan ekonomi negara barat.

Hal ini terkonfirmasi dari data BPS, nilai ekspor nonmigas nasional ke negara BRICS mencapai 84,37 miliar dollar AS atau 33,91 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia pada 2024.

Data tersebut menunjukan bahwa negara BRICS mempunyai andil besar terhadap ekspor nasional ke depan.

Sebagai upaya memperkuat stabilitas nilai rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global, Bank Indonesia terus mendorong optimalisasi instrumen operasi moneter promarket melalui Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI).

Bank Indonesia mencatat, hingga 14 Januari 2025, posisi SRBI, SVBI dan SUVBI masing-masing sebesar Rp 914,72 triliun, 1,96 miliar dollar AS, dan 436 juta dollar AS.

Pada akhirnya, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Bank Indonesia telah melakukan penguatan kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) melalui pemberian insentif kepada pembiayaan bank pada sektor ekonomi yang mempunyai kapasitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Kebijakan insentif KLM, telah diberlakukan mulai 1 Januari 2025, secara langsung akan mendorong tumbuhnya sektor ekonomi yang mendukung penciptaan lapangan kerja.

Insentif KLM bersifat pro growth ini selaras dengan Asta Cita pemerintah, yaitu meningkatkan lapangan kerja berkualitas.

Perlu diingat, kebijakan yang fokus pada penciptaan lapangan kerja saat ini menjadi strategis. Hal ini diperlukan untuk mendorong peningkatan porsi pekerja formal yang mengalami penurunan pada saat pandemi Covid-19 dengan porsi kurang dari 40 persen (N. Heldini, 2021).

Peningkatan persentase pekerja formal, diharapkan dapat mengurangi scaring effect sektor tenaga kerja sebagai dampak pandemi Covid-19, yang juga memberikan kontribusi terhadap penurunan porsi masyarakat kelas menengah saat ini.

Pengalaman Bank Indonesia bersama pemerintah dalam menghadapi pandemi memberikan pembelajaran berharga bahwa sinergi dan kolaborasi yang solid antara pemerintah dan otoritas moneter menjadi syarat penting yang harus dipenuhi untuk tetap tumbuh tinggi dan stabil di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian.

Tag:  #langkah #antisipasi #proteksionisme #perdagangan #amerika

KOMENTAR