DPR Ingatkan soal Intervensi Asing Lewat Regulasi Berbasis FCTC yang AncamTenaga Kerja Pertembakauan
KELAS PEKERJA: Para buruh pabrik rokok di Surabaya saat mengantre untuk mendapatkan bantuan langsung tunai beberapa waktu lalu. (Dipta Wahyu/Jawa Pos)
16:36
22 September 2024

DPR Ingatkan soal Intervensi Asing Lewat Regulasi Berbasis FCTC yang AncamTenaga Kerja Pertembakauan

 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali tekankan soal kuatnya kepentingan organisasi raksasa dalam rezim kesehatan internasional atau asing yang akan mengancam keberadaan budaya tembakau di Indonesia. Hal ini tecermin dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang bersumber dari rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Padahal, Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi FCTC. Di samping itu, negara-negara lainnya juga tidak memiliki pertanian maupun tenaga kerja tembakau seperti di Tanah Air.

Diketahui, salah satu ketentuan RPMK yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan RI ini mendorong penerapan kemasan polos rokok tanpa merek untuk diberlakukan di Indonesia. Anggota DPR Komisi XI Fraksi Partai Golkar DPR RI Misbakhun mengakui adanya kegagalan dalam menyampaikan pentingnya isu tembakau terhadap kepentingan nasional.

Pengaturan sepihak tersebut seakan hanya memandang pengaturan tembakau dari pertimbangan isu kesehatan semata. Misbakhun menyoroti aspek pertimbangan lain yang substansial dalam industri hasil tembakau, seperti penghidupan petani dan pekerja yang ikut mendorong agrikultur dan ekosistem pertanian yang kuat, yang sayangnya masih belum disoroti sepenuhnya oleh negara.

"Kita selama ini ikut dalam sebuah frame besar yang membicarakan isu tembakau itu seolah hanya (soal) kesehatan semata. Ada isu kesehatan, iya. Tapi tidak boleh kemudian dia menjadi dominan menekan sektor pertembakauan ini. Inilah mengapa saya anggap kita gagal melakukan konsolidasi soal pertembakauan," ungkap Misbakhun dalam Halaqah Nasional Masyarakat Sipil Dan Pemerintah "Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik" beberapa waktu lalu.

Misbakhun menilai, selama ini tembakau selalu dijadikan komoditas yang dianaktirikan saat negara mendapatkan banyak manfaat dari sektor ini. Semestinya, negara melindungi tembakau dan kembali pada kepentingan nasional yang fokus pada tembakau sebagai komoditas utama nasional.

Misbakhun menekankan juga adanya intervensi asing dan organisasi anti tembakau yang ingin menekan sektor tembakau melalui regulasi kesehatan seperti PP 28/2024 dan RPMK. "Dengan isu yang dibawa melalui PP 28/2024, itu kita sudah kocar-kacir. Padahal, kalau menurut saya PP 28 ini jelas sekali adalah konsolidasi kelompok anti tembakau dan intervensi asing yang ingin menyampaikan bahwa tembakau itu hanya berkaitan dengan kesehatan semata. Inilah yang perlu menjadi perhatian kita," tegasnya.

Melihat sisi tatanan hukum, Pakar Hukum Universitas Trisakti Ali Rido menggarisbawahi adanya intervensi asing yang menjadikan proses dan konteks dari regulasi pertembakauan menjadi rancu. "Jadinya kita ragu apakah sebenarnya kita sudah berdaulat dari aspek hukum atau tidak. Makanya kami masih coba uji juga dalam RPMK ini bagaimana," imbuhnya.

Ali menjelaskan ruang lingkup materi dari RPMK sudah cukup jauh melenceng dari aturan di atasnya yaitu PP 28/2024. Sehingga jika Kemenkes ingin membuat aturan teknis turunan, maka sudah semestinya mengacu pada PP 28/2024. Namun, RPMK malah mendorong ketentuan pengaturan yang meluas dan semakin ketat, melebihi aturan acuannya.

Berdasarkan aturan ini, Ali melihat adanya perluasan substansi yang tidak tercantum di PP 28/2024 namun sengaja dibuat di RPMK. Salah satu aturan yang menjadi rancu di RPMK adalah terkait standardisasi kemasan atau kemasan polos rokok tanpa merek yang tidak menemukan titik terang dengan rencana aslinya.

Hal ini menunjukkan bahwa RPMK ini memiliki banyak penjelasan yang tidak efektif dan juga tidak efisien untuk dijalankan. "Poin saya yang terakhir itu, RPMK itu adalah hegemoni. Ini perlu diformulasi agar sebelum disahkan bisa mengakomordasi berbagai aspek mengenai perundang-undangan. Jadi mudah-mudahan ini pandangan yang murni dari aspek hukum agar objektivitasnya bisa diuji," jelasnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #ingatkan #soal #intervensi #asing #lewat #regulasi #berbasis #fctc #yang #ancamtenaga #kerja #pertembakauan

KOMENTAR