Ekonomi Indonesia 2025 Diproyeksi Tumbuh 5,11 Persen, Konsumsi dan Investasi Jadi Kunci
– Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menyoroti faktor utama di balik perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terjadi pada 2024. Menurutnya, peningkatan impor yang sebagian besar berupa barang modal dan bahan baku menjadi salah satu pemicu perlambatan tersebut. Tren ini sejalan dengan ekspansi pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang tetap tumbuh kuat meskipun Indonesia menghadapi tahun pemilu.
Josua menjelaskan bahwa pemilihan presiden satu putaran turut mempercepat investasi dengan mengurangi aksi wait and see dari para investor. "Semua komponen pengeluaran mengalami pertumbuhan, terutama konsumsi rumah tangga yang semakin mendapatkan daya tarik," ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (7/2).
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih belum kembali ke level sebelum pandemi. Josua menilai hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan permintaan domestik masih rentan dan belum cukup kuat untuk mendukung ekspansi yang lebih luas.
Data menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2024 meningkat menjadi 4,98 persen YoY, naik dari 4,91 persen pada kuartal sebelumnya. Peningkatan ini didorong oleh pemulihan konsumsi pada sektor perlengkapan rumah tangga dan pengeluaran makanan-minuman, yang masing-masing tumbuh sebesar 4,33 persen dan 4,34 persen secara tahunan.
Secara keseluruhan, sepanjang 2024 konsumsi rumah tangga tumbuh menjadi 4,94 persen dari 4,82 persen di tahun sebelumnya. Normalisasi mobilitas pasca-pandemi turut mendorong pengeluaran masyarakat pada sektor makanan, minuman, perjalanan, dan rekreasi.
Namun, belanja pemerintah justru mengalami perlambatan pada kuartal IV 2024, hanya tumbuh 4,17 persen YoY. Hal ini disebabkan oleh langkah pemerintahan baru yang berfokus pada efisiensi anggaran. Sementara itu, ekspor dan impor juga mengalami perlambatan dibandingkan kuartal sebelumnya, masing-masing tumbuh 10,36 persen dan 7,63 persen secara tahunan.
Proyeksi Ekonomi 2025: Konsumsi dan Investasi Jadi Penopang
Meski pertumbuhan 2024 mengalami tantangan, Josua optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh kuat pada 2025. Ia memperkirakan produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat menjadi 5,11 persen dari 5,03 persen pada 2024.
"Konsumsi rumah tangga dan aktivitas investasi akan menjadi faktor utama yang menopang pertumbuhan ekonomi tahun depan. Pemerintah juga telah menginisiasi berbagai kebijakan pro-pertumbuhan," jelasnya.
Bank Indonesia (BI) diharapkan akan memainkan peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. Josua menilai bahwa kebijakan moneter yang lebih longgar, termasuk penurunan suku bunga, dapat mendukung ekspansi konsumsi dan investasi. Selain itu, pembatalan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk beberapa barang dan jasa menjadi stimulus tambahan bagi daya beli masyarakat.
Namun, di sektor perdagangan eksternal, ekspor neto diperkirakan akan menghadapi tantangan besar. Josua menyoroti perlambatan ekonomi Tiongkok dan kebijakan proteksionisme yang semakin ketat di bawah kepemimpinan Presiden AS, Donald Trump.
“Risiko perang dagang AS-Tiongkok masih tinggi. Kebijakan proteksionisme ini dapat memicu ‘Perang Dagang 2.0’ dan berdampak pada ekspor Indonesia,” katanya.
IHSG Tertekan, Saham Perbankan Melemah
Sementara itu, indeks harga saham gabungan (IHSG) mengalami tekanan pada perdagangan Rabu (6/2). IHSG ditutup melemah 148,69 poin atau turun 2,12 persen ke level 6.875,536, dengan saham emiten perbankan menjadi sektor yang paling terdampak.
Analis pasar modal Hans Kwee menjelaskan bahwa sentimen negatif di pasar saham dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran akan perang dagang antara AS dan mitra dagangnya.
“Presiden Trump memang menunda kenaikan tarif bea 25 persen untuk Kanada dan Meksiko, tetapi tarif 10 persen terhadap barang-barang impor dari Tiongkok tetap berlanjut. Ini menjadi risiko besar bagi negara-negara dengan hubungan perdagangan yang erat dengan Tiongkok, termasuk Indonesia,” kata Hans.
Selain itu, laporan keuangan sejumlah korporasi Indonesia juga tidak terlalu menggembirakan. Menurut Hans, sektor perbankan menjadi salah satu yang paling terdampak akibat tingginya suku bunga dan penurunan daya beli kelas menengah.
Di sisi lain, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih lambat dari ekspektasi turut menekan pasar. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Bank Indonesia mungkin akan memangkas suku bunga acuannya untuk merangsang pertumbuhan.
Namun, kebijakan The Federal Reserve (The Fed) yang masih mempertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu lebih lama membuat Bank Indonesia harus lebih berhati-hati dalam mengambil langkah.
“Ekspektasi pemangkasan suku bunga di Indonesia terbentur oleh kebijakan The Fed yang masih cenderung higher for longer. Ini menciptakan ketidakpastian di pasar dan menekan saham perbankan,” tambah Hans.
Secara keseluruhan, meskipun ekonomi Indonesia diprediksi tetap tumbuh pada 2025, sejumlah tantangan eksternal seperti inflasi, perlambatan Tiongkok, dan ketidakpastian kebijakan moneter global masih akan menjadi faktor yang perlu diwaspadai.
Tag: #ekonomi #indonesia #2025 #diproyeksi #tumbuh #persen #konsumsi #investasi #jadi #kunci