![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Kisah Yuniarta Nensy, Pengusaha Binaan Bukit Asam yang Hasil Karyanya Melanglang Buana](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/06/kompas/kisah-yuniarta-nensy-pengusaha-binaan-bukit-asam-yang-hasil-karyanya-melanglang-buana-1147138.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Kisah Yuniarta Nensy, Pengusaha Binaan Bukit Asam yang Hasil Karyanya Melanglang Buana
– Tidak salah bahwa ketekunan dan semangat tanpa putus asa merupakan kunci sukses dalam membangun usaha.
Banyak pelaku usaha berhasil berkembang dari semangat ini. Salah satunya adalah Yuniarta Nensy, pemilik usaha Rumah Daun yang memiliki produk wastra khas Sumatera Selatan dengan pola unik titik tujuh, jumputan.
Rumah Daun didirikan Yuni—panggilan akrabnya—pada 2022. Mulanya, ia tidak memproduksi jemputan, tetapi kain eco print. Sayangnya, produk ini kurang diminati oleh konsumen.
Lalu, perempuan asal Sumatera Selatan itu pun mengamati perilaku konsumen saat mengikuti pameran. Ternyata, konsumen lebih meminati wastra. Sejak saat itu, ia pun mencoba memproduksi kain jumputan.
Meski demikian, pembuatan kain jumputan ternyata tidak mudah. Ada proses panjang yang mesti dilalui, mulai dari mencari kain yang cocok, menggambar motif, menjahit ikatan, persiapan pencelupan, pembuatan warna, hingga pencelupan.
Yuni pun tidak putus asa dan terus mengembangkan kain jumputannya. Hingga akhirnya, ia pun mampu menciptakan kain jumputan yang punya ciri khas ketimbang kain sejenis lain, yakni motif bergradasi menyerupai matahari bersinar.
Uniknya, pola tersebut ditemukan Yuni secara tidak sengaja. Yuni menuturkan, dalam pembuatan jumputan, kain seharusnya dibuka saat masih basah usai pencelupan.
Namun, Yuni kelupaan dan baru membuka saat kain sudah kering. Hal ini membuat motif yang dihasilkan jadi berbeda dengan orang.
“Sekarang (motif ini) malah jadi ciri khas karya saya," ucapnya.
Yuni kembali bercerita, sejak awal, ia menggunakan pewarna alami dari daun Ketapang untuk kain jumputan.
"Kain warna alam tidak bisa konsisten warnanya. Itu uniknya jumputan. Warnanya tiap kain pasti beda. Motif khasnya titik tujuh," ujarnya.
Dalam mengembangkan usaha, Yuni dibantu oleh kedua anak perempuannya. Anak pertama punya keahlian menggambar. Ia pun membantu menggambar motif dan mencelup kain. Selain itu, anak pertamanya juga membantu administrasi.
Pendiri Rumah Daun Yuniarta Nensy. Sementara, anak kedua yang kuliah bahasa Inggris dan mahir presentasi membantu Yuni mempromosikan usaha.
“Dengan bantuan anak kedua saya, kami bisa presentasikan produk dengan bahasa asing saat acara di instansi pemerintahan," ungkap Yuni.
Perlahan tapi pasti, Rumah Daun pun berkembang. Pada pertengahan 2022, Rumah Daun pun menjadi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) binaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
PTBA membantu modal usaha, pembelian bahan baku, pelatihan, pemasaran, dan promosi melalui pameran.
"PTBA membantu usaha saya dari awal hingga sekarang. Hasilnya, roda perekonomian kami berputar,” kata Yuni.
Saat ini, omzet penjualan kain Rumah Daun sudah sangat tinggi, dari Rp 700.000 per bulan pada 2022 menjadi Rp 15-20 juta per bulan. Produknya pun tak sebatas kain, tetapi juga baju, tas, rompi, dompet, dan lain-lain.
Dari awal dibantu kedua anaknya, kini ia juga mempekerjakan 10 orang untuk membantu mengumpulkan daun yang menjadi bahan baku pewarna alami, mengurus administrasi, dan menjahit.
Yuni juga bekerja sama dengan dua kelompok ibu rumah tangga untuk membuat ikatan motif.
"Sekarang permintaan banyak. Jadi, saya harus kolaborasi dengan teman-teman. Kalau ada pesanan suvenir premium dalam jumlah besar, saya mengajak kerja sama teman-teman," ucapnya.
Melanglang buana sampai Amerika
Selain dari dalam negeri, konsumen Rumah Daun juga berasal dari luar negeri. Salah seorang pembelinya menggunakan produk Rumah Daun untuk diberikan kepada dosen penguji di Cornell University sebagai kenang-kenangan. Hal ini membuat dirinya bangga.
"Kain jumputan saya sampai di Amerika Serikat (AS) untuk dibawa ke Cornell University. Konsumen saya baru lulus S2 dan ia memberikannya ke dosennya buat cendera mata," cerita Yuni.
Hasil karya Rumah Daun. Hal tersebut bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, kain jumputan produksi Rumah Daun juga sudah melanglang buana hingga San Fransisco, AS. Saat itu, seorang temannya membantu menjual jumputan di Bali. Kebetulan salah satu pembelinya merupakan turis asal AS.
Saat pulang ke AS, turis tersebut berfoto di Jembatan San Fransisco sambil mengenakan syal dari jumputan.
"Jumputan saya (sudah) melanglang buana," ucap Yuni.
Inovasi jadi kunci
Tak puas begitu saja, Yuni pun terus berinovasi untuk bisa bertahan dalam industri kreatif yang ketat. Selain melakukan diversifikasi produk, Yuni mencari bahan pewarna alami baru dan sekaligus menyempurnakan pewarnaan dengan berbagai percobaan. Motif-motif dari kain jumputan juga diperkaya.
Ke depan, ia ingin membuat motif baru khas Palembang, seperti bunga pedada. Ia juga berencana membuat motif ikon di Sumsel, seperti Jembatan Ampera dan Pulau Kemaro.
“Kami harus terus berinovasi untuk menghasilkan warna dan motif baru. Tantangan kami adalah mencari pewarnaan alam. Selain membuat kain, saya juga berniat membuat home decor," kata Yuni.
Yuni juga berencana memberdayakan kaum difabel untuk membantu pembuatan jumputan. Ia ingin melakukan kerja sama dan mengangkat kaum difabel yang belum punya pekerjaan.
Yuni berharap, berbagai inovasi tersebut dapat membuat Rumah Daun semakin berkembang dan dikenal masyarakat luas.
"Saya kelahiran Palembang. Ada kebanggaan pribadi untuk mengangkat wastra lokal. Saya merasa bangga dengan jumputan," tegasnya.
Tag: #kisah #yuniarta #nensy #pengusaha #binaan #bukit #asam #yang #hasil #karyanya #melanglang #buana