Perusahaan Sawit Wajib Alokasikan 30 Persen Lahan Plasma, Ombudsman: Berpotensi Maladministrasi
Pekerja memanen tandan buah kelapa sawit di kawasan PT Perkebunan Nusantara II, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (17/2/2024). Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian menargetkan peremajaan kelapa sawit tahun 2024 seluas 540 hektare atau dua kali lipat dibandingkan tahun 2022. ANTARA FOTO/Yudi/Spt.(ANTARA FOTO/Yudi)
08:04
5 Februari 2025

Perusahaan Sawit Wajib Alokasikan 30 Persen Lahan Plasma, Ombudsman: Berpotensi Maladministrasi

- Ombudsman RI menilai, aturan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mewajibkan perusahaan sawit menyediakan lahan plasma sebesar 30 persen, berpotensi maladministrasi.

Diketahui, perusahaan sawit yang hendak melakukan pembaruan Hak Guna Usaha (HGU) tahap terakhir atau tahap ketiga harus menyediakan lahan plasma sebesar 30 persen dari total luas kebun sawit yang dimiliki.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengungkapkan, seharusnya Kementerian ATR/BPN patuh pada aturan yang ada.

“Harus patuh sama aturan. Aturannya 20 persen ya 20 persen, atau ubah dulu aturannya, undang-undangnya diubah. Misalnya undang-undangnya maunya 30 persen (atau) 40 persen, monggo. Kalau undang-undangnya mengatakan 20 persen ya harus 20 persen,” kata Yeka dalam siaran pers, Selasa (4/2/2025).

Sejumlah regulasi mengatur kewajiban plasma 20 persen bagi pemegang HGU dalam industri sawit, salah satunya dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Regulasi lainnya juga tertera pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007 pada Pasal 11 Ayat 1; Permentan Nomor 98 Tahun 2013 pada Pasal 15 Ayat 1; dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pada Pasal 58.

Yeka mengatakan, boleh saja Menteri ATR/BPN Nusron Wahid akan menerapkan rencana tersebut untuk kepentingan petani.

Namun, Yeka mengingatkan agar tetap mengacu pada aturan yang ada.

“Kalau rencana tersebut tetap dilaksanakan, jelas melanggar aturan yang ada. Maladministrasi itu berarti,” kata Yeka.

Ombudsman juga meminta agar pemerintah lebih memfokuskan pada upaya audit untuk menegakkan aturan plasma 20 persen tersebut.

Yeka menengarai, implementasi kewajiban plasma 20 persen bagi pemilik HGU belum terealisasi secara baik.

“Yang (kewajiban plasma) 20 persen sudah dievaluasi belum? Jangan-jangan yang 20 persen belum dievaluasi. Kalau 30 persen (diterapkan) nanti timbul masalah. Niatnya baik untuk masyarakat nanti akhirnya malah fire back,” kata Yeka.

Rencana pemerintah mewajibkan perusahaan sawit menyediakan lahan plasma sebesar 30 persen itu diungkapkan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/01/2025).

“Selain plasma 20 persen, kita minta tambah karena dia (perusahaan sawit) sudah menikmati 60 tahun (HGU tahap pertama dan kedua), tambah 35 tahun (HGU tahap ketiga), jadi 95 tahun. Untuk tahap ketiga kita minta tambah minimal 10 persen untuk masyarakat, sehingga 30 persen plasmanya untuk pembaruan," ujar Nusron.

Nusron mengatakan, alokasi 20 persen lahan plasma kini hanya berlaku untuk pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun, dan perpanjangan HGU tahap kedua untuk 25 tahun selanjutnya.

Aturan baru ini akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN.

Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pemilik HGU diberikan jangka waktu penguasaan paling lama 35 tahun untuk tahap pertama.

Kemudian pemilik HGU bisa melakukan perpanjangan hingga 25 tahun untuk tahap kedua apabila HGU tahap pertama sudah habis, dan 35 tahun untuk pembaruan tahap terakhir atau tahap ketiga.

Editor: Nirmala Maulana Achmad

Tag:  #perusahaan #sawit #wajib #alokasikan #persen #lahan #plasma #ombudsman #berpotensi #maladministrasi

KOMENTAR