Solusi Krisis Elpiji 3kg: Perkuat Pengawasan Harga dan Manfaatkan Teknologi
– Kelangkaan Elpiji 3kg yang terjadi akibat pembatasan distribusi semakin membebani masyarakat miskin. Antrean panjang, akses terbatas ke agen resmi, serta potensi kenaikan harga di pasar gelap menjadi tantangan utama.
Bintang Aulia Lutfi, Peneliti The PRAKARSA, menilai bahwa solusi terbaik bukanlah mempersempit distribusi, melainkan memperkuat pengawasan harga dan memanfaatkan teknologi, seperti sistem pemantauan digital berbasis QR Code, untuk memastikan subsidi tepat sasaran.
Dengan sistem digital berbasis QR Code, setiap transaksi Elpiji 3 kg dapat tercatat secara real-time, sehingga pemerintah dapat memantau pola distribusi, mencegah kebocoran subsidi, dan mendeteksi potensi kecurangan.
Teknologi ini juga memungkinkan masyarakat untuk membeli Elpiji 3 kg dengan harga yang telah ditetapkan, tanpa risiko markup harga oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan operasi pasar untuk menstabilkan harga dan menindak tegas pelaku spekulasi yang memanfaatkan kelangkaan. Kolaborasi dengan pengecer terdaftar juga harus dipertimbangkan agar distribusi lebih merata tanpa menciptakan celah bagi praktik penyelewengan.
“Penting bagi masyarakat untuk diberdayakan agar bisa melaporkan penjual nakal melalui saluran pengaduan terpadu. Jika pengawasan dan transparansi distribusi diperkuat, kelangkaan Elpiji 3 kg bisa diminimalkan tanpa harus membebani masyarakat kecil,” kata Bintang melalui keterangannya, Selasa (4/2/2025).
Dampak Pembatasan Distribusi Elpiji 3 Kg
Bintang mengatakan, kebijakan pemerintah yang membatasi distribusi Elpiji 3 kg hanya melalui agen resmi telah menimbulkan berbagai persoalan di lapangan.
Sejak diberlakukannya Surat Edaran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No. B-570/MG.05/DJM/2025 per 1 Februari 2025, masyarakat miskin dan pelaku UMKM mengalami kesulitan mendapatkan Elpiji 3 kg yang merupakan kebutuhan pokok mereka.
Bintang menyoroti bahwa pembatasan ini memperburuk akses masyarakat terhadap energi bersubsidi. Kapasitas agen resmi yang tidak memadai menyebabkan stok sering kosong, sehingga masyarakat harus mengantri lebih lama atau menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan gas.
“Kebijakan ini menciptakan kelangkaan buatan karena tidak mempertimbangkan kesiapan infrastruktur distribusi. Akibatnya, banyak masyarakat yang akhirnya terpaksa membeli dari pasar gelap dengan harga lebih tinggi,” ujar Bintang.
Pasar gelap muncul karena Elpiji 3kg adalah barang primer yang bersifat inelastis—permintaannya tetap tinggi meskipun harga naik. Ketika akses resmi dipersempit, peluang bagi spekulan untuk memainkan harga semakin besar.
Bintang menegaskan bahwa kebijakan ini justru berisiko memperburuk kesejahteraan masyarakat miskin yang paling membutuhkan subsidi.
Kelangkaan Elpiji 3 kg berdampak langsung pada ekonomi rumah tangga dan pelaku usaha kecil. Banyak keluarga harus mengalokasikan dana lebih besar untuk membeli gas di pasar gelap, sementara pelaku UMKM menghadapi kenaikan biaya operasional yang mengancam keberlangsungan usaha mereka.
Di sisi lain, kesulitan mendapatkan Elpiji 3kg dapat mendorong masyarakat beralih ke bahan bakar alternatif yang kurang ramah lingkungan, seperti kayu bakar atau minyak tanah.
Hal ini tidak hanya meningkatkan biaya hidup, tetapi juga membawa risiko kesehatan dan lingkungan akibat polusi udara dari pembakaran bahan bakar padat.
Tag: #solusi #krisis #elpiji #perkuat #pengawasan #harga #manfaatkan #teknologi