



Mencegah Uang Palsu, Tugas Siapa?
MENJELANG akhir 2024, kita sempat dihebohkan dengan temuan uang palsu di Sulawesi Selatan.
Temuan ini sempat menjadi highlight. Selain karena jumlahnya yang mencapai ratusan juta rupiah, sebagian dari barang bukti uang palsu ini ternyata ditemukan di universitas.
Respons cepat diberikan, baik oleh pihak Kepolisian maupun Bank Indonesia. Sebanyak 17 orang sudah diringkus.
Tak berhenti di situ, Kepolisian pun langsung menelusuri sindikat pemalsuan uang yang terafiliasi dengan ini.
Di sisi lain, Bank Indonesia mengapresiasi langkah cepat yang diambil Kepolisian. Bank Indonesia menegaskan bahwa kualitas uang palsu tersebut masih rendah dan tidak ada unsur pengaman yang dipalsukan.
Hal ini menandakan kualitas unsur pengaman Rupiah memang sulit untuk dipalsukan, sehingga uang palsu yang ditemukan di Sulawesi Selatan masih dapat dikenali dengan kasat mata.
Selain itu, Bank Indonesia juga terus mendorong masyarakat untuk berperan aktif dengan cara melaporkan temuan uang palsu.
Dalam kunjungannya bersama Bank Indonesia ke Perum Peruri pada 30 Januari 2025 lalu, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H. Amro, meminta kepada Bank Indonesia dan Perum Peruri untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran uang palsu, terutama menjelang hari besar keagamaan.
Permintaan ini cukup masuk akal mengingat jumlah uang yang beredar cenderung meningkat di hari besar keagamaan.
Sebagai lembaga yang berperan dalam pengedaran uang Rupiah, sebenarnya Bank Indonesia memang ikut bertanggung jawab dalam menjamin tidak beredarnya uang palsu.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanggung jawab itu mutlak hanya di Bank Indonesia?
Berbicara mengenai peran Bank Indonesia di dalam pengedaran uang Rupiah, tidak akan bisa dilepaskan dari UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang).
UU Mata Uang sudah mengatur secara jelas bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki peran di seluruh siklus pengeloaan uang Rupiah (PUR), mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, hingga pemusnahan uang Rupiah.
UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) semakin memperluas peran Bank Indonesia ini hingga ke lingkup Rupiah digital.
Masih di dalam UU Mata Uang, dalam melaksanakan perannya tersebut, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk menentukan keaslian uang Rupiah di mana masyarakat dapat meminta klarifikasi langsung atas uang Rupiah yang diragukan keasliannya kepada Bank Indonesia.
Peran itulah yang kemudian semakin dielaborasi Bank Indonesia dalam penyusunan kebijakannya.
Kita sudah tahu bagaimana kebijakan Bank Indonesia mengenai uang Rupiah yang diedarkan. Kebijakan mulai dari ciri, desain, hingga bahan baku disusun sedemikian rupa dengan harapan uang Rupiah sulit untuk dipalsukan.
Terbukti pada 2023, Bank Indonesia mendapatkan penghargaan International Association of Currency Affairs (IACA) atas uang Rupiah TE 2022 sebagai best new banknote di mana salah satu yang menjadi aspek penilaiannya adalah fitur keamanan uang Rupiah.
Semangat mencegah pengedaran uang palsu tidak berhenti begitu saja ketika uang Rupiah sudah diedarkan dan menjadi legal tender.
Setelahnya pun, Bank Indonesia masih aktif untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait ciri-ciri keaslian uang Rupiah.
Kegiatan edukasi itu juga sudah diamanatkan di dalam UU Mata Uang yang menyatakan bahwa Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian Rupiah kepada masyarakat.
Edukasi ini penting mengingat di setiap penerbitan uang Rupiah emisi baru, selain memperbaharui desain, Bank Indonesia juga memastikan fitur keamanan uang Rupiah semakin sulit untuk dipalsukan.
Cara ini termasuk berhasil. Rasio temuan uang palsu di Indonesia terus menurun di tahun 2024 menjadi 4 ppm dari 5 ppm di periode 2022-2023.
Selanjutnya, untuk menjawab apakah hanya Bank Indonesia yang bertanggung jawab dalam pencegahan peredaran uang palsu, kita bisa melihat ke dalam Pasal 28 UU Mata Uang.
Pemberantasan uang palsu dilakukan oleh Pemerintah melalui suatu badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah palsu (Botasupal).
Selain Bank Indonesia, Kepolisian RI merupakan salah satu unsur di dalam badan koordinasi tersebut yang menurut saya juga memiliki peran krusial dalam pencegahan peredaran uang palsu.
Hal ini cukup beralasan. Bank Indonesia bukan merupakan lembaga penegak hukum. Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia merupakan upaya preventif.
Berbeda dengan Bank Indonesia, upaya pencegahan uang palsu oleh Kepolisian RI tidak hanya upaya preventif, melainkan juga upaya represif melalui penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan.
Upaya represif ini sering disebut sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum. Sanksi-sanksi terkait uang palsu yang tersebar, baik di UU Mata Uang maupun regulasi lainnya dapat dikenakan untuk memberikan efek jera kepada pelaku melalui upaya represif ini.
Upaya pencegahan peredaran uang palsu nyatanya tidak hanya dilakukan oleh Indonesia saja. Uni Eropa (UE) juga melakukan hal yang cukup serupa.
EU perlu memastikan langkah-langkah pencegahan Euro palsu yang diambil setiap negara yang menjadi anggota UE sama dan efektif.
UE memilki 4 (empat) pilar penting dalan strategi pencegahan peredaran Euro palsu, mulai dari upaya preventif, represif, pelatihan, dan koordinasi.
Yang cukup menarik, menurut saya, adalah pilar keempat, koordinasi. Koordinasi yang dimaksud adalah pembentukan komisi yang diisi oleh para ahli dari lembaga terkait.
Menjadi menarik karena terdapat berbagai macam komisi/working groups yang dibentuk sesuai dengan perannya masing-masing.
Euro Counterfeit Experts Group adalah salah satunya (ECEG). Komisi ini merupakan kumpulan ahli dari European Central Bank (ECB), Europol, dan Interpol.
Selain ECEG, juga terdapat Counterfeit Coin Expert Group (CCEG). ECB dan Europol juga merupakan bagian dari komisi ini. Yang membedakan hanyalah tujuan pembentukan komisi ini di mana CCEG berfokus pada pencegahan peredaran koin palsu.
Apa yang dilakukan Indonesia dan UE semakin memperjelas bahwa pencegahan peredaran uang palsu tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Koordinasi dan kolaborasi merupakan merupakan kunci.
Mau seberat apapun sanksi pidana yang diatur, tidak akan efektif apabila setiap pihak berjalan sendiri-sendiri.
Namun, di atas itu semua, peran masyarakat juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Uang merupakan instrumen utama dalam transaksi ekonomi.
Oleh karena itu, awareness masyarakat sangat dibutuhkan. Edukasi yang dilakukan oleh Bank Indonesia memang menyasar ke hal tersebut.
Sebagian besar dari temuan uang palsu juga berasal dari laporan masyarakat. Semakin aware masyarakat, maka semakin mudah bagi Botasupal untuk mengambil tindakan lebih lanjut.
Ingat, Rupiah merupakan simbol kedaulatan NKRI. Tindakan pemalsuan merupakan salah satu bentuk merendahkan uang Rupiah sebagai simbol kedaulatan.
Dengan menyadari penuh kedudukan uang Rupiah tersebut, seharusnya tidak akan sulit bagi kita semua untuk bersama-sama menjaga uang Rupiah dari upaya pemalsuan.